Putu Sutawijaya Mencari Garuda
Sudah belasan tahun Putu Sutawijaya terpikat pada Garuda. Bagi seniman ini, Garuda menarik bukan semata sebagai lambang negara Indonesia. Sosok burung besar berparuh bengkok itu juga menyajikan tampilan visual yang artistik serta narasi yang mendalam.
Untuk mempelajari gambar-gambar Garuda, Putu melakukan riset di sejumlah candi di Jawa, khususnya Jawa Timur, yang dihiasi relief (batu pahat) dengan kisah Garuda. Ada Candi Kidal di Malang. Candi Rimbi di Jombang. Juga Candi Kedaton di Probolinggo. Seniman asal Bali itu kini tinggal di Yogyakarta, tetapi gemar blusukan ke sana ke mari demi mencari inspirasi kreatifnya.
Candi Kedaton di Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, sungguh menarik perhatiannya. Putu pernah mengunjungi candi itu tujuh tahun silam. Kunjungan itu dia ulangi lagi belum lama ini.
Suatu malam, sekira pukul 22.00 WIB, Putu tiba di satu kawasan di Probolinggo yang dekat candi itu. Untuk memastikan rute, dia bertanya kepada warga yang tengah makan bakso. Namun, mereka menyarankan seniman itu untuk menginap saja di dekat situ, dan baru melanjutkan perjalanan ke candi esok harinya.
Menuruti saran itu, Putu dan rombongan menginap di satu hotel di tengah perkebunan teh. Pagi hari, rombongan berangkat ke candi. Tenyata, medan menuju ke situs di atas bukit itu cukup terjal. Jalanan menanjak, berbatu, belum diapal. Pantas saja warga memberi saran perjalanan pagi agar lebih aman.
Apa yang ditemukan pagi itu sungguh berbeda dengan pengalaman tujuh tahun silam. Dulu, Putu tiba di tempat itu saat sudah gelap sehingga tak bisa melihat banyak. Saat pagi hari, semua kekayaan budaya di candi itu tampak benderang, terutama sejumlah relief yang menceritakan perjalanan garuda.
Dikisahkan, Begawan Kasyapa memberikan telor kepada istrinya, Winata. Telor itu menetaskan Garuda. Namun, Winata dipaksa menjadi budak Kadru, yang juga istri lain dari Begawan. Perbudakan bisa dilepaskan dengan syarat Garuda membawakan air amerta (air kehidupan) sebagai tebusannnya.
Garuda mengembara ke Gunung Somala, tempat air amerta disembunyikan para dewa. Bermacam gangguan dan tantangan diatasi, termasuk Garuda harus menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Air amerta akhirnya diperoleh, dan sang ibu terbebas dari perbudakan.
Bagi Putu, mitologi ini menyimpan makna mendalam. Meski berangkat dari metafora, tetapi kisahnya sangat manusiawi. Ada penghormatan kepada ibu. Anak perlu sungkem kepada ibu sebelum melakukan perjalanan. Perjuangan untuk membebaskan ibu dari perbudakan. Kerja keras untuk mencapai cita-cita. Juga ada pesan untuk menjaga komitmen pada janji.
Semua relief dengan kisah menggugah itu didokumentasikan. Saat ditelaah, ternyata tak hanya bermakna mendalam, kisah itu juga disajikan dalam adegan visual yang menarik. Sosok Garuda digambar dengan ekspresif. Narasi dituturkan secara luwes, bahkan kadang memanfaatkan visual dari sudut pandang jauh dekat (zoom out-zooom in). Relief di candi bak galeri yang dipenuhi kolase adegan film dari masa lalu yang menggetarkan.
Hasil temuan itu merupakan inspirasi yang memprovokasi Putu untuk berkreasi. Inspirasi tak harus dicari sampai jauh-jauh ke luar negeri. Sejarah bangsa di Nusantara dengan segenap kekyaan budayanya juga merupakan energi yang bisa diolah sebagai sumber kreasi. Kisah Garuda menjadi modal berharga untuk diendapkan, dikembangkan, kemudian dimunculkan kembali sebagai gagasan berkarya seni rupa.
Karya seni
Inspirasi perjalanan kehidupan Garuda diangkat Putu sebagai titik berangkat bagi karya-karyanya. Karya itu kini ditampilkan dalam pameran tunggal, bertajuk "Lelampah," di Bentara Budaya Jakarta, 14 29 September 2023. Pameran ini sekaligus menjadi rangkaian peringatan ulang tahun Bentara Budaya ke-41, pada 26 September 2023.
Putu akrab dengan Bentara Budaya. Dalam perbincangan via Zoom, Rabu (6/9/2023) lalu, dia mengaku lembaga kebudayaan Kompas Gramedia itu turut mengantarkan dirinya menjadi sosok perupa dengan pencapaian seperti sekarang. Pameran tunggal kali ini dia siapkan secara sungguh-sungguh, bahkan ada rasa "deg-degan" karena banyak pertimbangan. Dia berhasrat kuat untuk menampilkan sesuatu yang berbeda.
Dalam pameran kali ini, Putu memajang 10 lukisan, beberapa instalasi dan patung, 23 lukisan yang diolah dari foto, serta satu video dokumentasi riset. Semuanya mengangkat tema Garuda. Adegan adegan dari relief Candi Kedaton ditafsirkan ulang dalam visual baru yang lebih modern.
Inspirasinya dari masa lalu, tetapi eksekusi visualnya berbasis estetika visual masa kini. Dengan begitu, kisah Garuda dari candi itu berpotensi menggugah masyarakat zaman sekarang. Perjalanan Garuda bisa menjadi cermin untuk melihat perjalanan manusia urban dengan segenap kompleksitasnya.
Tajuk "Lelampah", yang berarti perjalanan, dipilih bukan semata hendak menggambarkan kisah perjalanan Garuda. "Lelampah" juga mencerminkan pengembaraan berkesenian Putu. Pergelaran ini diharapkan juga memberi sumbangan bagi kemajuan kebudayaan Indonesia.
Garuda untuk Indonesia
Garuda memiliki tempat istimewa dalam sejarah bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa memilih Garuda sebagai lambang negara dengan pertimbangan matang. Dalam mitologi agama Hindu, burung Garuda dikisahkan sebagai tunggangan Dewa Wisnu.
Burung itu juga pernah dipakai sebagai simbol beberapa kerajaan di Jawa. Salah satunya, Kerajaan Kahuripan dengan pusat pemerintahan di Sidoarjo, dekat Surabaya, yang dipimpin Raja Airlangga alias Erlangga (1009 hingga 1042 M). Pada masa itu, Garuda disebut Garudamukha, sementara Airlangga dipercaya sebagai titisan Wisnu.
Garuda banyak diangkat dalam bentuk relief dan arca di sejumlah candi di Jawa. Kisahnya dituturkan dalam banyak versi, yang masih dapat dinikmati sampai masa kini.
Dalam kehidupan nyata, Garuda banyak dikaitakan dengan burung elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Tampilan burung ini mengesankan kegagahan sekaligus kecantikan. Badan tegap, sayap besar, kaki dengan cakar kekar, berwarna coklat keputihan. Ada sesuatu yang lebih khas yang menambah pesona hewan ini: jambul di kepalanya.
Sosok Garuda berserta sejarah dan maknanya menarik para pendiri bangsa untuk menjadikannya sebagai lambang negara Indonesia. Desain Garuda dirancang oleh Sultan Hamid II dengan rembukan dari Mohammad Yamin dan Ki Hajar. Rancangan awal masih mirip arca Garuda yang ditunggangi Dewa Wisnu yang ditemukan di Trawas, Jawa Timur. Draft itu lantas mengalami beberapa kali revisi sehingga akhirnya menghasilkan lambang Garuda Pancasila seperti sekarang.
Garuda Pancasila digambarkan mengepakkan sayap. Bagian dada diisi ikon lima sila (bintang, rantai, pohon beringin, kepala banteng, dan padi kapas). Cakar burung itu mencengkeram semboyan "Bhinneka Tunggal Ika." Lambang negara ini disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945, Pasal 36 ayat a.
Semboyan ini menegaskan konsensus para pendiri bangsa, bahwa Indonesia merupakan negara bangsa modern yang dibangun sebagai rumah bersama bagi masyarakat yang mejemuk. Semua mendapatkan perlindungan dan diperlakukan sederajat sebagai bagai warga negara, apa pun latar belakang agama, ras, suku, atau golongannya. Keberagaman adalah kekayaan dan berkah yang patut disyukuri dan dijaga. Masyarakat diharapkan hidup dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain.
Namun, kenyataan di lapangan kadang memperlihatkan sebaliknya. Perbedaan dalam masyarakat masih mudah menyulut gesekan, konflik, bahkan kekerasan yang merenggut korban. Sebagian kelompok mayoritas menekan kelompok minoritas. Dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah, sentimen identitas kerap dijadikan bahan kampanye demi memenangi kontestasi politik.
Lambang burung Garuda masih terpajang di rumah, sekolah, atau perkantoran. Proklamasi kemerdekaan selalu diperingati setiap tahun, termasuk tahun ke-78 yang baru saja kita rayakan. Namun, sejarah dan makna Garuda masih belum benar-benar meserap dalam seluruh denyut nadi masyarakat.
Putu Sutawijaya, sebagai seniman sekaligus warga negara, tersentuh untuk mengingatkan masyarakat akan sejarah Garuda bersama seluruh nilai-nilainya. Lewat karya-karya seninya, kita diajak untuk menengok kembali sejarah masa lalu sekaligus menyegarkan ingatan akan pentingnya menjaga Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Ketika melihat Garuda, sejatinya kita juga sedang mengeja semboyan "semboyan "Bhinneka Tunggal Ika," berbeda-beda tapi tetap satu juga.
"Matur suksma" kepada Putu Sutawijaya yang getol berkarya untuk ditampilkan dalam pameran tunggal di Bentara Budaya. Terima kasih kepada Jenni Vi Mee Yei, istri Putu, beserta segenap kru Sangkring Art Space yang banyak membantu sejak dini. Penghargaan kepada kurator Bentara yang memberi support, serta teman-teman Bentara Budaya yang mengurusi berbagai hal teknis sehingga pergelaran berlangsung lancar.
Palmerah, 10 September 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia