MENIMBANG “THE OUTSIDER ART”
Saya tak akan melupakan pengamalan menonton pameran seni yang “aneh” di The American Visionary Art Museum (AVAM) di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, tahun 2009. Disebut aneh karena karya-karya yang dipajang unik dan, terutama, dibuat oleh “outsiders” alias pihak luar. Mereka orang-orang berkebutuhan khusus, tak belajar seni secara akademik, tetapi suntuk berkreasi seni dan menghasilkan karya-karya yang menggugah.
Salah satu seniman itu adalah Frank Calloway, lelaki dengan skizofrenia dan pernah menjadi pasien mental selama 57 tahun. Lelaki asal Tuscaloosa, Alabama, itu dikarunia umur panjang. Pada tahun 2009 itu, dia masih hidup dan berusia 112 tahun. Dia mulai melukis sejak usia 80-an tahun saat tinggal di M Kidd Nursing Facility di Tuscaloosa.
Karya Calloway berupa mural sepanjang sekitar 10 meter penuh gambar yang dibuat dengan pulpen, tinta, dan crayon di atas kertas. Obyek seperti truk, rumah, kereta api, dan orang, semuanya digambar berjejer-jejer kayak antrean. Gaya visual sederhana, dekoratif, dan naif. Karakter naif ini penting disebut karena membuat gambar lelaki itu menjadi berbeda dengan gambar kebanyakan.
Naif di sini dapat dimengerti sebagai kekanak-kanakan, apa adanya, mentah, sekaligus jujur, tak dibuat-buat. Tak tercium aroma niat untuk membuat indah atau mengindah-indahkan gambar-gambar itu. Calloway melihat apa yang tampak di mata atau terekam dalam kenangannya, lantas digambar ulang dalam bentuk dan garis-garis bersahaja di atas kertas. Semua terjadi begitu saja alias tanpa beban.
Pameran juga disertai penjelasan dari pengelola museum serta beberapa dokumentasi pelengkap. Calloway kini sibuk menggambar setiap hari. Biasanya, setelah bangun tidur jam 06.00 pagi, dia rutin menggambar di meja kerjanya dengan rehat saat makan. Saat melukis, wajahnya tenang dan tampak gembira. Malam, sekitar jam 20.00, dia pergi tidur. Esok harinya, kegiatan serupa diulangi kembali.
Pengalaman serupa, yang juga selalu teringat, saya alami ketika mengunjungi Dwi Putra Mulyono Jati alias Pak Wi (59 tahun), April 2012. Dia tinggal bersama keluarganya di Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumah itu tenang. Ada ruang semi terbuka yang disulap sebagai semacam studio untuk Pak Wi melukis.
Ketika saya tiba siang itu, Pak Wi sedang asyik melukis di atas kanvas. Lelaki itu tidak berbicara sama sekali. Sepertinya juga kurang mendengar. Tidak tersenyum. Wajahnya datar, bahkan tampak serius. Dia benar-benar fokus menghadapi kanvas di depannya. Tanpa berpikir atau merenung, dia mulai bergerak.
Tangan kiri Pak Wi memegang kertas bergambar burung garuda ukuran agak kecil. Tangan kanan memegang pensil. Sambil sesekali melihat gambar acuan, dia kemudian menggoreskan pencil itu sehingga membentuk garis-garis menyerupai burung garuda. Ukurannya lebih besar. Dia terus membuat sketsa (drawing kasar) sampai seluruh gambar garuda terbentuk.
Tak berselang lama, dia lantas ambil kuas ukuran sedang. Dia celupkan kuas itu dalam wadah cat warna kuning. Cat itu ditorehkan ke dalam bidang-bidang sketsa. Selesai warna kuning, dia berganti ke warna merah, lantas hitam. Mweski meniru gambar contoh, hasil akhir lukisan Pak Wi berbeda. Warna gambarnya lebih “mentah”, nyaris tanpa gradasi atau adonan cat. Cat dari wadah 6 itu digoreskan begitu saja di atas kanvas, tanpa dicampur dengan warna lain. Kalaulah ada perbaruan, itu terjadi di atas kanvas, nyaris tanpa sengaja. Semua warna asli, apa adanya.
Selesai satu gambar burung garuda, Pak Wi tidak serta merta berhenti. Dia bergerak ke kanvas kosong lain, lantas mengulangi proses yang sama. Dia ambil contoh gambar wayang, membuat sketsa kasar, dan kemudian mengisinya dengan warna-warni. Hanya saja, kali ini dia tampak lebih hapal dan mengenali anatomi wayang dengan lebih baik ketimbang garuda. Proses melukisnya juga lebih cepat.
Selama dua jam bekerja, dia nyaris tidak berhenti. Dia hanya rehat ketika masuk jam makan siang. Masih teringat, saat itu dia makan nasi berlauk gulai telor bulat dengan porsi nasi yang cukup banyak. Lahap dan cepat benar dia makan. Setelah minum secukupnya, dia lantas tenggelam dalam kegiatan melukis. Dia tak menyapa, tapi juga tak terganggu dengan kehadiran saya di dekatnya.
Kebetulan adik Pak Wi, Nawa Tunggal, adalah sahabat saya sesama wartawan di Harian Kompas. Nawa kerap menceritakan kakaknya yang mengalami gangguan kejiwaan. Saat masih bocah, pendengaran Pak Wi terganggu sehingga dia sering menyendiri. Saat usia belasan, dia diketahui mengidap skizofrenia. Mengutip beberapa penjelasan medis, skizofrenia dikenali dari adanya gangguan pikiran, perilaku abnormal, dan antisosial. Gangguan kejiwaan ini rata-rata membuat pengidapnya sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan. Ada beberapa jenis masalah kejiwaan ini dan kebetulan, Pak Wi mengidap skizofreni residual (Residual Schizophrenia).
Pak Wi sempat berperilaku aneh. Salah satunya, suka jalan dan memunguti puntung rokok. Kondisi itu membuat Nawa bersedih, dan berusaha mencari jalan keluar agar kakaknya tidak keluyuran di jalan lagi. Ternyata, ditemukan kemudian, perilaku aneh Pak Wi menjadi teredam saat melukis. Melukis membuatnya fokus dan tenang.
Sejak tahun 2000-an, Nawa mulai mendampingi dan memfasilitasi kakaknya untuk lebih serius menyalurkan kegemaran seni itu. Disiapkan beragam peralatan, seperti kertas, kanvas, kuas, cat, pensil, dan kain. Tentu, perlu perjuangan yang tak mudah untuk mewujudkan itu. Namun, kerja keras Nawa 7 membuah hasil. Pak Wi pun akhirnya benar-benar tenggelam dalam kegiatan melukis sampai sekarang.
Hampir tiap hari Pak Wi melukis. Apa saja digambar, mulai mulai dari gambar binatang, benda keseharian, sampai wayang. Kini, gambar dan lukisannya menumpuk, memenuhi rumah tempat tinggalnya.
Dengan didampingi Nawa, Pak Wi kemudian tampil di sejumlah pameran. Tak hanya di Yogyakarta, dia juga diundang pameran di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, bahkan sempat diundang tampil di Jepang. Semua itu menunjukkan, proses kreatif Pak Wi mendapatkan apresiasi dari kalangan seni dan publik luas.
Pameran “Trilogi Kenyamanan” oleh Dwi Tunggal (Dwi Putro dan Nawa Tunggal) di Bentara Budaya Jakarta adalah bagian dari apresiasi itu. Banyak karya yang dipajang di sini selama pergelaran, 12-19 Oktober 2022. Ada lukisan, drawing, aksi menggambar langsung (live painting), juga instalasi ruang gelap dengan neon. Karya ruang gelap ini merupakan pengemasan ulang dari karya yang pernah ditampilkan sebelumnya di ArtJog tahun 2022.
Sebagaimana Calloway, karya Pak Wi juga memperlihatkan kencenderungan serupa. Gambar atau lukisannya bersahaja dan agak naif. Warna-warnanya otentik, kerap mendekati mentah. Itu terjadi lantaran tak ada hasrat untuk memoles karyanya menjadi indah. Memang bukan keindahan visual lazim yang dikejar, tapi ekspresi spontan yang jujur. Gambar-gambar yang dibuatnya menampakkan kemurnian bertutur yang bersahaja.
Namun, jangan juga kaget kalau menemukan ritme warna dan komposisi bidang yang rapi, bahkan “clean” dalam sejumlah karya. Sesuatu yang agak membuyarkan bayangan tentang lukisan karya seniman pengidap skizofrenia (yang membaurkan antara kenyataan dan khayalan), yang barangkali menjanjikan semacam “chaos”. Ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Bagaimana memahami proses kreatif dari sosok seperti Calloway di Amerika dan Dwi Putro di Indonesia?
Ketika mengunjungi The American Visionary Art Museum (AVAM) di Baltimore, AS, saya sempat ngobrol dengan Direktur AVAM Rebecca Hoffberge. Saat itu, saya datang bersama rombongan peserta International Arts Journalism Institute in The Visual Art di American University, Washington DC. Rebecca menyebut 8 karya Calloway sebagai bagian dari “the outsider” (orang luar). Alasannya, bagaimanapun, dia bukan berasal dari komunitas seniman, apalagi berlayar akademik dari sekolah atau kampus seni, tetapi justru menemukan gairah untuk berproses kreatif dengan pendekatan yang unik dan khas. Hasil karyanya tak kalah menggugah dibandingkan karya seniman akademik, bahkan memiliki kekuatan yang “aneh” alias tak lazim.
Oleh sebagian kalangan, salah satunya seniman Perancis Jean Dubuffet, karya semacam itu dikategorikan sebagai “art brut”, dalam pengertian karya seni yang karya orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ). Istilah “art brut” berasal dari Bahasa Prancis, yang berarti “rough art” (seni kasar) dan “raw art” (seni mentah). Kekasaran dan kementahan memang menjadi ciri khas dari karya-karya jenis ini, selain juga kecenderungan repetitif (mengulang).
Melalui pameran “Trilogi Kenyamanan” oleh Dwi Tunggal (Dwi Putro dan Nawa Tunggal), Bentara Budaya berusaha merangkul semua kelompok masyarakat yang berproses kreatif dalam dunia seni. Seni itu bersifat universal sehingga tidak dibatasi hanya boleh digeluti orang atau komunitas tertentu saja. Seni merupakan ruang terbuka yang dapat dimasuki dan ditekuni siapa saja, termasuk orang-orang dengan masalah kejiwaan.
Semangat ini selaras dengan pernyataan populer dari seniman asal Jerman, Joseph Beuys, bahwa “Everyone is an artist” (semua orang pada dasarnya adalah seniman). Maksudnya, dengan kadar dan takaran berbeda-beda, setiap individu memiliki kecenderungan untuk menekuni proses kreatif.
Terima kasih kepada Dwi Putra Mulyono Jati dan Nawa Tunggal yang berpameran, serta Hilmi Faiq yang mendukung sebagai kurator. Apresiasi kepada semua pihak yang turut mewujudkan pergelaran ini. Penghargaan untuk teman-teman di Bentara Budaya. Selamat menikmati.
Palmerah, 11 Oktober 2022
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management Kompas Gramedia