Pameran Presiden Alternatif: Doa Pemilu Damai dan Bahagia Sujiwo Tejo dan Nasirun
SEMAR DAN PETRUK KEMULAN DI BAYEMAN
A true artist in not one who is inspired, but one who inspires others
– Salvador Dali
Rasanya seperti mendapatkan penampakan mistis, ketika suatu malam, saya melihat Semar dan Petruk duduk kemulan sarung. Keduanya terlihat tercenung di hadapan kanvas. Dan di kanvas itu tampak bayangan Semar yang sedang berdiri di tebing dan satu tangannya menuding, seakan menghardik, ke arah Petruk yang berdiri malangkerik, menentang dengan kedua tangan berkacak pinggang. Bayangan Petruk lebih gelap, dengan sosok yang sekan lebih besar, seperti bertiwikrama, mengubah dirinya menjadi lebih digdaya. Awalnya saya merasa ngunmun, seperti mengapung terbawa sesuatu yang ganjil, menyaksikan Semar dan Petruk yang entah sedang memandangi diri mereka sendiri atau sedang bercermin.
Saya merasakan pengalaman mistis itu di Bayeman.
Bayeman bukan petilasan, atau tempat keramat yang biasa dikunjungi para peziarah spiritual. Bayeman terletak di sebelah Barat kota Yogyakarta, sekitar 3 atau 4 kilometer dari Titik Nol Yogya atau kerap ditandai sebagai perempatan Kantor Pos Besar di tengah Kota Yogya. Dari Titik Nol itu, menuju ke Barat, melewati Wirobrajan dan jalan Raya Wates, akan ada jalan menurun setelah Soto Kadipiro. Di jalanan yang menurun itu, geronjongan orang Yogya bilang, bila belok kanan memotong jalan, akan masuk ke daerah Bayeman. Tepatnya, di situlah letak Perumahan Bayeman Permai. Di situlah Studio pelukis Nasirun berada.
Pengalaman mistis melihat Semar dan Petruk kemulan sarung, adalah pengalaman saat saya melihat Sujiwo Tejo dan Nasirun sedang duduk bersimpuh di hadapan kanvas lukisan yang sedang diselesaikannya. Keduanya sedang berkolaborasi menyiapkan dan menyelesaikan beberapa lukisan, untuk pameran. Mungkin karena pada saat itu saya tertidur di sofa, ketika menemani keduanya lembur melukis, dan saya terbangun tengah malam mendapati ruangan terasa remang di beberapa bagian, dan hanya ada cahaya yang cukup mencolok di sudut dimana Tejo dan Nasirun sedang melukis. Keduanya, bisa seharian menyelesaikan lukisan. Dari pagi hingga dini hari larut. Beberapa kawan yang kadang menemani, memang kerap tertidur. Meski kadang[1]kadang sampai tengah malam suasana masih ramai: Nasirun dan Tejo melukis sambil ngobrol, bertukar kelakar, kadang berdebat tentang warna dan lain-lain, sementara beberapa kawan akan duduk menggerombol. Kadang menyimak, kadang menyelingi dengan komentar. Atau kadang malah menghidupkan suasana dengan menyanyi gitaran.
Nasirun dan Tejo tak serta merta memutuskan untuk berkolaborasi melukis.
Pertemuan Pada Satu Malam…
Pertemuan pertama terjadi suatu malam, ketika Sujiwo Tejo beranjangsana bertemu Nasirun di rumah perupa Yogyakarta itu. Pastilah keduanya sudah saling mengenal atau bertemu sebelumnya, tapi pada malam itulah, pertama kali Sujiwo bermain dan ngobrol di rumah Nasirun. Saya menemani mereka ngobrol dan bercanda, dengan kelakar-kelakar yang memecahkan tawa. Pertemuan ini saya kira penting diingat, sebagai titik awal Sujiwo Tejo dan Nasirun saling memahami karakter personal masing-masing; apakah keduanya punya energi dan getaran yang saling terhubung, atau sebut saja “chemistry”.
Di tengah keasyikan bercanda itulah, saya mengatakan pada mereka, kalau pertemuan keduanya semestinya ditandai dengan sesuatu yang istimewa: melukis bersama. Gayung bersambut. Nasirun mengeluarkan satu kanvas ukuran kecil yang kemudian secara spontan dilukis oleh Sujiwo Tejo dan Nasirun meresponnya.
Bagi saya, ukuran kanvas yang kecil itu juga penting dimaknai sebagai satu awal untuk saling menjajaki. Nasirun tidak mengelurkan kanvas berukuran besar (saat kolobarasi dengan seniman lain, Nasirun kerap mamakai kanvas besar), tapi kanvas kecil, bagi saya, itu semacam metafora: ibarat lubang kunci untuk saling menjenguk ekspresi dan gaya masing-masing secara langsung. Bila keduanya langsung melukis di kanvas besar, boleh jadi kanvas itu akan tak terselesaikan, kemudian terbengkalai, dan diantara keduanya tak terjalin keterikatan dan ketertarikan untuk melakukan kolaborasi lebih lanjut.
Ketika keduanya melukis bersama itulah, saya mengatakan, bahwa ada satu hal yang menarik yang menghubungkan keduanya, yakni tradisi wayang. Sujiwo Tejo adalah dalang, dan Nasirun perupa yang juga banyak mengeksplorasi figure wayang dalam kanvasnya. Dan satu hal lagi yang menurut saya bisa mempertemukan keduanya dalam kanvas: Semar dan Petruk.
Sujiwo Tejo fasih ketika melukis Semar, dan Nasirun kuat sekali ketika mengkepresikan sosok Petruk dalam lukisannya. Keduanya saya bayangkan Semar dan Petruk yang bertemu dan menyatu, dan bisa mengeksplorasi beragam kemungkinan dari imaji Semar dan Petruk. Setidaknya, dua hal itu akan membuat Nasirun dan Tejo bisa bertemu secara gagasan ketika akan berkolaborasi.
Kemudian keduanya membuat momentum untuk melukis bersama selama 24 Jam di Studio Nasirun, dan disiarkan secara live lewat kanal youtube, mulai pukul 09.00 17 Juli 2022 sampai 09.00 18 Juli 2022. Pada moment itu, ada satu lukisan yang digarap Tejo-Nasirun dengan imaji utama Semar dan Petruk. Mula-mula keduanya seakan membagi dua bidang pada kanvas itu: Tejo menggambar Semar di sisi kiri bagian kanvas, dan Nasirun menggambar imaji Petruk di kanvas sebelah kanan.
Seakan ada pembatas yang belum bisa mereka terabas, untuk saling menggoreskan garis secara bebas di kanvas.
Seperti pertarungan yang belum saling menyerang. Mengamati proses itu, saya seakan menyaksikan dua pecatur yang sedang saling intai, menduga-duga langkah apa yang akan dimainkan lawan. Ketika keduanya duduk di hadapan kanvas yang melukis sembari bersila, saya teringat pada satu scene “Chess Courtyard Fight” dalam film Hero (Zhang Yimao); ketika Pendekar Tanpa Nama, Nameless (Jet Li) bertarung dengan Sky (Donnie Yen), dan puncak pertarungan itu berlangsung dalam pikiran mereka. Ketika tubuh Nasirun dan Tejo tugur terdiam memandangi kanvas, saya merasakan “pertarungan” sedang berkecamuk dalam pikiran mereka, pertarungan untuk menaklukkan kanvas.
Sementara tangan mereka menggoreskan kuas (terbayang pedang yang bergerak lembut) pertarungan terus berkecamuk dalam pikiran keduanya. Menunggu moment yang akan membawa keduanya pada “titi kolo mongso”-nya, pada saat yang memang tak dibuat-buat atau direka-reka, tetapi saat yang memang sudah saatnya terjadi dengan sendirinya.
Sampai kemudian Tejo dan Nasirun mulai berani menerobos batas itu, seperti menemukan pintu untuk saling memasuki perasaan dan gagasan yang bisa dituangkan bersama dalam kanvas. Sapuan kuas melebur, seakan dengan goresan di kanvas itu, keduanya mulai saling memahami untuk memasuki “jagad kolaborasi batin dan pikiran”: manunggaling Tejo dan Nasirun mulai terasa dalam kanvas.
Menyimak semua proses itu, saya tak terlalu kaget saat mendengar keduanya kemudian menyiapkan pameran bersama, yang kini bisa kita nikmati karya-karya mereka dalam pameran ini. Lukisan yang saya anggap penting untuk menandai kolaborasi Tejo-Nasirun itu, disertakan dalam pameran ini, diberi judul “Malangkerik” (145x200cm).
Pengalaman mistis yang saya ceritakan di awal tulisan ini, terjadi ketika Tejo dan Nasirun memandangi lukisan berjudul “Malangkerik” itu. Apa yang saya alami itu, bisa jadi juga menjadi semacam pertanda, betapa Tejo dan Nasirun telah mampu meleburkan diri mereka masing-masing kedalam kanvas bersama, ibarat Semar dan Petruk yang kemulan bareng.
Kolaborasi dalam Senirupa
Kolaborasi antar seniman, adalah sesuatu yang jamak. Bahkah kini, kolaborasi dalam seni, dalam berbagai intensitas dan keberagaman bentuknya, sudah dianggap sebagai keniscayaan, lantaran proses produksi seni dianggap saling terakit dan terkait satu dengan lainnya. Mulai dari bagaimana ide menginspirasi satu karya, sampai produksi dan distribusi karya. Pendeknya, semakin tumbuh pengertian betapa proses kreatif seniman tidaklah berjalan sendirian. Lingkungan pergaulan dan pengalaman yang membentuknya, menjadi satu hal yang tak bisa diabaikan dalam proses kreatif dan produksi seni. Para perupa memang bisa bekerja sendirian dalam studionya, tetapi selalu ada banyak variable yang mempengaruhi sebelum ia “menyendiri” masuk ke dalam studio kerjanya.
Metode atau proses kolobarasi, kemudian, menjadi sesuatu yang menandai transisi seni modern ke post modern atau apa yang hari ini kerap disebuat sebagai kontemporer. Ada banyak catatan seputar kolaborasi dalam sejarah senirupa. Kerap disebut kolaborasi yang berhasil dan sukses (secara artistik dan komersial) Gilbert-George, Marina Abramovic-Ulay dan, Andy Warhol-Basquiat. Rasanya, yang menarik untuk dipaparkan sebagai semacam elaborasi atas kolaborasi Sujiwo Tejo-Nasirun adalah kolaborasi Andy Warhol (1928-1987) dengan Jean-Michel Basquiat (1960-1988). Kolaborasi keduanya mulai terjadi sekitar tahun 1983, dan selama dua tahun keduanya menghasilkan banyak karya seni “empat tangan” dengan gaya masing-masing yang saling melengkapi, dan periode kolaborasi itu menandai satu episode penting dalam karier keduanya dan juga sejarah senirupa dunia. Karya-karya kolaborasi Warhol-Basquiat seakan menjadi “identitas ketiga”, karya-karya yang berbeda dari yang dihasilkan Warhol dan Basquiat ketika mereka berkarya sendiri-sendiri. Ada identitas yang berbeda antara karya Warhol, karya Basquiat dan karya Warhol-Basquiat.
Ketika menyimak kolaborasi Tejo-Nasirun ini, saya pun kemudian ingin melihat adakah “identitas ketiga” dalam karya-karya mereka? Yakni “identitas karya Tejo[1]Nasirun”, yang membedakan (atau punya perbedaan) dengan karya Sujiwo Tejo (ketika ia menghasilkan karya sendiri) dan karya Nasirun (saat ia menghasilkan karya sendiri).
Jangan salah sangka, saya tidak sedang mempersamakan kolaborasi Tejo-Nasirun dengan Warhol-Basquiat; saya sekadar mencoba mengelaborasi rasa penasaran saya atas peristiwa kolaborasi Tejo-Nasirun ini, akankah juga sampai membentuk semacam “identitas ketiga” dalam ragam rupa kolaborasi keduanya. Dimana kolaborasi keduanya tidak sekadar sebagai upaya “melukis bersama”, tetapi juga sebuah upaya untuk mencapai (atau menemukan) kegelisahan artistik dan gagasan bersama, yang kemudian bisa kita nikmati dalam karya-karya yang dihasilkan keduanya. Saya kira, ini yang akan menarik kita simak, ketika menikmati karya-karya kolaborasi yang dipamerkan ini.
Saya merasa perlu menekankan hal itu, karena ada juga peristiwa kolaborasi yang berhenti sekadar menjadi “melukis bersama” dalam satu kanvas. Suatu kali, tiga maestro senirupa Indonesia bertemu dan melukis bersama, yakni Affandi, S.
Sudjojono dan Basuki Albdullah. Peristiwa ini digagas oleh Ciputra, tahun 30 Oktober 1985, di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Barangkali, Ciputra juga terinspirasi oleh kolaborasi Warhol-Basquiat yang terjadi di periode tahun yang sama. Ciputra menyiapkan satu kanvas besar untuk dilukis oleh tiga maestro senirupa Indonesia itu, dalam peristiwa yang kemudian dinamakan “Tiga Maestro Menguak Takdir”. Tajuk itu, saya kira akan mengingatkan pada judul buku kumpulan puisi “Tiga Menguak Takdir” yang ditulis tiga penyair penting dalam sastra Indonesia, Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin.
Peristiwa Affandi, S. Sudjojono, Basuki Abdullah melukis bersama, sudah barang tentu menyita banyak perhatian dan pemberitaan. Menjadi peristiwa senirupa yang penting, mengingat hubungan ketiga pelukis itu; ada perbedaan artistik, gaya, sampai perbedaan “selera” yang kuat antara ketiganya. Dalam pernyatan Ciputra, “Saat itu, hubungan ketiganya kurang harmonis. Mereka mengkritisi aliran lukisan.” Dan “Karena tajamnya perang kritik itu, saya kemudian mengundang ketiganya untuk melukis bersama.”
Kemampuan Ciputra untuk membujuk ketiga maestro itu melukis bersama dalam satu kanvas, dianggap menjadi semacam “juru damai”.
Tapi, meski melukis bersama dalam satu kanvas, ketiganya melukis di “bidang yang berbeda”, seakan masih ada batas-batas teritori artistik yang tak ingin mereka seberangi. Bahkan ketiganya melukis secara bergantian. Affandi melukis wajah Sudjojono. Sudjojono melukis wajah Afandi, sedang Basuki Abdullah melukis wajah Ciputra. Tentang ini Ciputra pernah berkelakar, “Saya mau digambar Basuki karena wajah saya pasti akan jadi tambah bagus.” Ketika Affandi melukis, Sudjojono dan Basuki duduk di kursi mengamati. Begitu seterusnya, ketiga maestro itu bergantian melukis di satu kanvas.
Kolaborasi ketiganya berhenti sebagai “melukis bersama” dalam satu kanvas, tak ada “identitas keempat” dari karya “enam tangan” mereka. Peristiwa seperti ini sering terjadi, ketika banyak seniman berkolaborasi, tetapi berhenti hanya melukis bersama di atas kanvas.
Kolaborasi memprasyaratkan adanya sinergi karakter antarseniman yang terlibat di dalamnya. Dalam prosesnya, masing-masing karakter itu bisa saling mempengaruhi, atau membuka diri untuk dipengaruhi, semacam dialog atau dilaktika ekspresi, hingga terbuka ruang untuk saling melengkapi. Dalam prosesnya, semua itu bisa berangkat dari ide, gagasan atau konsep yang telah digeluti disepakati bersama atau mengalir begitu saja.
Proses keduanya menggarap lukisan memperlihatkan satu upaya untuk saling bertukar gagasan atau kegelisahan. Biasanya, mula-mula mereka mengobrol tentang satu hal, lewat kelakar dan guyonan sebelum mulai melukis. Tentu saja ada perbedaaan yang muncul sesekali atau malah berkali-kali, tapi segera bisa diatasi. Pada banyak karya, bisa segera dikenali, gagasan awal atau tema dimulai oleh Tejo. Tetapi pada proses selajutnya, selalu terjadi semacam perdebatan yang kadang muncul dalam percakapan verbal berselang-seling dengan percakapan di atas kanvas. Nasirun bisa saja mengubah apa yang sudah dikerjakan Tejo, dengan menambahi atau malah menutup bagian yang sudah dikerjakan Tejo, dan mulai mengerjakan apa yang menurutnya lebih menarik. Begitu pun sebaliknya, Tejo bisa mengubah apa yang sudah dikerjakan Nasirun, hingga proses melukis menjadi semacam percakapan yang saling menimpali, menyanggah, menambahi, atau tiba-tiba masuk ke percakapan yang berbeda dan mengejutkan keduanya.
Untuk memutuskan apakah satu lukisan sudah dianggap rampung, atau masih harus terus dikembangkan atau digarap ulang, juga kerap kali tak gampang. Kerap terjadi adu argumen yang panjang, tentu dengan gaya keduanya yang suka berkelakar.
Pergulatan gagasan dalam proses itu memperlihatkan kolaborasi keduanya yang tak hanya bertumpu pada persoalan teknik. Bahkan sangat terasa, gagasan yang ingin disampaikan dalam karya menjadi sangat kuat. Karya-karya dari kolaborasi itu menjadi semacam ekspresi dari kegelisahan Tejo-Nasirun seputar situasi berbangsa bernegara, terutama terkait ketegangan-ketegangan sosial yang timbul karena perbedaan pilihan dalam proses “copras-capres”. Hal ini, bisa segera kita pahami bila melacak ide awal tema besar pameran ini adalah “presiden alternatif”.
Tema-tema kekinian atau aktual (terutama soal isu politik ) juga bisa (segera) kita kenali. Tema-tema itu diekpresikan dengan beragam cara, kadang bernada satir, kadang terasa tajam kritik yang muncul melalui simbolisasi figure. Pada karya “Rel Kereta” (100 x 108 cm) tampak potret diri, Nasirun dan Tejo, yang membawa ingatan kita pada potret pasangan Capres-Cawapres, dengan suasana yang lebih karikatural dan getir. Seperti rel kereta: mereka berpasangan, sejajar, tapi tak pernah saling bersinggungan.
Dari sinilah, melalui kolaborasi lukisan mereka, Tejo-Nasirun seakan ingin mengingatkan kembali pentingnya dialog. Pentingnya titik temu untuk mengakomodasi keberagaman dan aspirasi. Mesti ada “imajinasi bersama” untuk menyatukan ide-ide itu agar bisa saling bersentuhan, berdialog dan terakomodasikan.
Proses kolaborasi seperti itu, bagi saya menjadi penting untuk dinikmati sebagai sebuah proses pertukaran gagasan atau perdebatan yang beradab – sesuatu yang rasanya kini langka (atau bahkan hilang) dalam (praktik) politik berbangsa dan bernegara. Maka ini bukan semata pameran kolaborasi, tapi peristiwa seni yang mengingatkan betapa pentingnya kolobarasi. Tak akan pernah ada Sumpah Pemuda di tahun 1928, bila pada diri para pemuda saat itu tak ada semangat untuk “berkolaborasi”. Dan tak akan ada kerjasama bila tak ada imajinasi bersama. Sesuatu yang dibayangkan bersama, imaji yang bisa menyamakan persepsi, tujuan dan cita[1]cita. Inilah yang oleh Ben Anderson dinyatakan sebagai “imagined community”. Indonesia menjadi sebuah negara, karena adanya “imajinasi kolektif” sebagai satu bangsa.
Dalam kontek “imajinasi bersama” itulah, pameran kolaborasi Nasirun-Sujiwo Tejo (semakin) menarik dinikmati. Apakah kita, hari ini, masih memiliki imajinasi bersama tentang “ke-Indonesia-an”? Mungkinkah kita masih bisa bersama sebagai satu bangsa bila tak lagi disatukan oleh imajinasi bersama? Percayalah, yang membuat satu bangsa terus bersatu bukan idiologi, tetapi karena masih adanya imajinasi bersama untuk bersatu sebagai satu bangsa. Inilah, sesungguhnya, situasi mendasar yang mesti dicermati: sungguhkah masih ada imajinasi bersama, yang membuat kita bisa terus bersama? Disintegrasi bangsa bermula dari ketiadaan imajinasi bersama. Dengan ungkapan yang bergaya jargon kita bisa mengatakan: imajinasi menyatukan bangsa. Dalam bahasan Anderson: story of national origins that creates imagined community amongst the citizens of the modern state.
Karya-karya kolaborasi pada pameran Presiden Alternatif: Doa Pemilu Damai dan Bahagia ini, pada satu sisi seakan sebuah upaya untuk mengulik memori kolektif kita (sebagai bangsa), tetapi pada sisi lain juga menjadi ajakan untuk memikirkan kembali (atau bila perlu mengoreksi) memori kolektif itu. Sebab ke-Indonesia-an adalah proses yang terus menerus, yang dinamis, bertumbuh, tetapi mesti memiliki akar “imajinasi yang sama”. Simaklah karya-karya seperti “Lawan Arah Jam Dinding” (100x150 cm), “Anak Kesayangan” (40,5x 40 cm), “Jokoting” 145x145 cm), “Zero But Not Empty” (140x140 cm), “All The Hanom’s Men” (80 x 60 cm) (bisa kita duga judul ini terinspirasi dari judul film All The President’s Men.
Atau simak karya-karya yang langsung mengingatkan pada isu-isu politik yang kerap muncul, misal karya berjudul “Dukun Policik” (50 x 40 cm), “Pusaran Tibane Ndaru” (50 x50 cm), “Dwi Tunggal “ (80 x 100 cm).
Bila kolaborasi ini adalah wujud pertukaran gagasan untuk menemukan titik temu, adakah titik temu itu memunculkan kesegaran? Kolaborasi bukanlah proses untuk saling mengalahkan, tapi sebuah proses dimana setiap perbedaan bisa memperlihatkan keberagaman yang harmonis. Karya-karya Tejo-Nasirun adalah pelajaran estetis untuk menuju hal itu. Pada karya kolaborasi ini kita masih menemukan karakter Sujiwo Tejo dan karakter Nasirun. Gaya Sujiwo Tejo dan gaya Nasirun. Mungkin pada satu karya karakter lukisan Sujiwo Tejo lebih kuat, tapi itu bukan berarti karakter Nasirun terpinggirkan. Begitu juga sebaliknya. Pada beberapa karya, terasa kuat karakter lukisan Nasirun, detail dan ornament yang khas Nasirun, tetapi itu juga tidak serta-merta meniadakan karakter Sujiwo Tejo dalam karya yang digarap bersama itu. Mungkin itulah inti terdalam dari kolaborasi: mampu menahan diri untuk mencapai saling pengertian. Inilah yang membuat kolaborasi Tejo-Nasirun ini menjadi relevan untuk situasi hari ini.
Ketika pameran koloborasi Nasirun-Tejo ini digelar “berdekatan” dengan suasana “copras-capres”, simak karya berjudul “Pilu dan Pemilunya” (20 x 120 cm) atau “Among-Among” (105 x 125 cm) maka pameran ini juga bisa dimaknai menjadi semacam upaya artistik untuk merefeksikan kembali semangat kolaborasi dalam berbangsa dan bernegara. Seni bisa menjadi jalan yang inspiratif untuk itu. Seperti dikatakan Salvador Dali, seniman melalui karya-karyanya punya kemungkinan untuk menginspirasi. Tak hanya penikmat seni. Tapi juga sebanyak mungkin kalangan. Bisa pejabat, petinggi negara, politisi, dan seterusnya.
Dari kolaborasi ini, kita bisa menguji imajinasi bersama kita sebagai komunitas bangsa, kemudian bisa bersama-sama menerawang bermacam kemungkinan di masa depan. Dis-imajinasi adalah awal disintegrasi. Atau seperti dalam satu karya Tejo-Nasirun di pameran ini: “Do Mi? No! Mido? Yes” (70 x 80 cm). Mungkin akan ada percakapan tak berkesudahan, perbedaan-perbedaan yang terus diperdebatkan, tetapi mesti harus terus-menerus diupayakan untuk bisa berkerjasama, berkolabiorasi.
Sujiwo Tejo dan Nasirun melalui pameran kolaborasi ini setidaknya telah mencoba mengawali, memulai “percakapan indah dan subtil” tentang proses berbangsa yang mesti terus diupayakan dengan cara beradab. Semar dan Petruk yang kemulan di Bayeman itu, lewat lukisan-lukisan yang dipamerkan ini, seakan tengah berdoa untuk pemilu yang damai dan bahagia.
Agus Noor Sutradara
Sastrawan, perupa & penggagas kolaborasi Sujiwo Tejo - Nasirun