TITI KOLO MONGSO Seni Kolaboratif ala Nasirun-Sujiwo Tejo
Pameran ini diawali dari pertemuan kolaboratif antara Nasirun dan Sujiwo Tejo pada 17 Juli 2022 lalu. Aksi perfomatif mereka digelar di Studio Nasirun di kawasan Bayeman Jl. Wates Yogyakarta. Sujiwo Tejo datang secara khusus (lengkap bersama tim kerja dari Jakarta) untuk melukis bersama Nasirun, menyanyi, berkelakar, hingga membuka dialog bersama sejumlah budayawan. Aksi ini lalu “di-youtube-kan” selama 24 jam tanpa jeda dan dipertontonkan tanpa tiket. Sejak Agustus 2022 ditayangkan sampai tulisan ini dikerjakan, konten youtube-nya telah ditonton sebanyak 87.676 kali.
Mereka memberinya tajuk “Titi Kolo Mongso”, yang berarti mengingat momenmomen berharga untuk dicatat, diresapi, dan diungkap sebagai pengingat masa/ zaman. Judul “Titi Kolo Mongso” sendiri sebelumnya menjadi judul lagu Sujiwo Tejo pada album discografi “Pada Suatu Ketika”. Lagu Titi Kolo Mongso diciptakan setelah gerakan Reformasi 98 yang mengungkap pesan agar kita bersabar, sekaligus sebagai doa agar tak terjadi keangkara-murkaan di muka bumi.
Setelah 12 bulan aksi kolaborasi tersebut berlalu, akhirnya 50 lukisan mereka digelar di Bentara Budaya Jakarta. Dari pertemuan dan hasilnya tersebut sejumlah makna penting dapat dikaji sebagai berikut.
Nasirun & Sujiwo Tejo
Keduanya memiliki kesamaan dan kebedaan konsep seni yang sesungguhnya sulit ditandai oleh orang kebanyakan. Tipis sekali perbedaannya. Bagi mereka yang sudah sering melihat lukisan Nasirun, tentulah bisa merasakan. Namun, bagi yang belum akrab, hal ini terlihat kompleks. Sebab Nasirun dan Sujiwo Tejo punya kesamaan menggali ide yang berasal dari budaya Jawa dalam lukisan-lukisannya. Sama-sama senang wayang. Dan, sama-sama melakukan re-aktualisasi atas itu semua dalam bentuk visual yang individual.
Mereka juga memiliki kesamaan dalam pembentukan objek. Objek yang divisualisasikan bersifat karikatural maupun abstraksi. Secara teknik juga nyaris berdekatan, yakni ditopang dengan torehan warna dan keberlimpahan garis serta goresan yang meledak-ledak membentuk objek-objek simbolik yang khas.
Bedanya, Nasirun sedikit banyak atau setidaknya sesekali memasukkan unsurunsur dan nilai ke-Islam-an atau lokalitas non-Islam sebagai inspirasi berkarya. Tidak sekadar melukis Kumbokarno atau Petruk, tetapi juga Dewi Sri yang terkait dengan mitologi era klasik Mataram Hindu di Jawa. Contohnya lainnya ada pada lukisan Odalan yang menjadi bagian dari adat Bali, tepatnya peringatan hari kelahiran sebuah pura pernah dibuatnya.
Bedanya lagi, Nasirun murni bekerja sebagai pelukis sejak mahasiswa (sebagai lulusan akademi seni rupa), sedangkan Sujiwo Tejo kita tahu: menyanyi, mencipta lagu, aktor hingga dalang dan merupakan lulusan matematika & teknik sipil. Dalam hal warna, lukisan Nasirun didominasi warna merah, kecoklatan atau hijau dan biru tua. Warna lukisan Sujiwo Tejo memiliki kesan serba hijau, gelap, atau hitam putih. Goresan tajam dari kuas dan pisau palet, lelehan cat pada kanvas serta tekstur menjadi identitas visual yang kerap dihadirkan Nasirun. Adapun Sujiwo Tejo memperlihatkan permainan kuas semata.
Pada aspek ide, meskipun berasal dari penjiwaannya atas budaya Jawa, tetapi yang dikonstruksi berbeda. Nasirun lebih menekankan pada dimensi tradisi dalam konteks perenungan ke dalam jiwa yang lebih tenang serta nilai-nilai spiritual yang kental. Katakanlah, ia lebih mengumandangkan nilai-nilai budaya Jawa sebagai sarana penyadaran ke dalam diri penonton. Berbeda dengan Sujiwo Tejo, sering kali mengumandangan budaya tradisi Jawa dalam konteks sebagai penanda peristiwa, termasuk mengambil objek non-tradisi masuk ke dalam kanvas-kanvasnya, serta kebanyakan bersifat profan yang meledak-ledak. Termasuk adanya elemen musik, gaya hidup kontemporer, sosiokultural, dan politik yang terlihat lebih kental dibandingkan Nasirun.
Jadi pertemuan keduanya ibarat “rel kereta api” (seperti judul karya kolaborasi mereka). Seiring, sejajar, tapi bisa disebut tak pernah bertemu walau bisa juga disebut bahwa sejatinya selalu bertemu.
Aksi Kolaborasi Seniman Pertemuan seniman bukanlah pertemuan yang mudah dan sederhana. Pertemuan yang dimaksudkan di sini bukan sedang melihat mereka sedang nonkrong atau kongkow di ruang tamu atau galeri atau di café cantik, maupun di teras studio seni berlatar halaman teduh nan asri. Pertemuan Sujiwo Tejo dan Nasirun dalam konteks akademik menjadi contoh mengenai pertemuan ideologi pemikiran. Mempertautkan antar kebedaan dan kesamaan kreativitas. Menjembatani sesuatu yang semula terpisah, menjadi cerita. Sekaligus untuk menjadi medium ujicoba (mungkin juga latihan & mencari sparring partner) dalam rangka memediasi hasrat untuk “bebas dari kebiasaan sehari-hari”.
Dalam perspektif seni sendiri, ketika dua atau lebih seniman bertemu dalam 1 kanvas atau 1 peristiwa itu berarti terjadi pertemuan ideologi estetika yang sesungguhnya rumit dan kompleks. Persoalannya karena hal itu merupakan bagian dari benturan ide, gagasan, hingga teknik. Jika dalam sebuah hasil karya biasanya direncanakan secara matang lalu diperkirakan hasilnya bisa diduga, pada momen Nasirun-Tejo ini tidak. Sehingga bila dikaji lebih lanjut pertemuan ini sesungguhnya merupakan adu gagasan yang menghasilkan benturan kuat atas “aset yang ada di dalam diri” setiap individu. Apalagi reputasi mereka di dunia masing-masing tak perlu diragukan lagi. Nasirun punya kolektor gila, Sujiwo Tejo punya penggemar luar biasa.
Setidaknya temu dua dedengkot ini mempertautkan atau mengolaborasikan “gagasan literatik (literasi-artistik)” Sujiwo Tejo yang merengkuh tema yang menjangkau luas dan luwes sampai ke ranah sosial-politik, sedangkan Nasirun pada “gagasan visual-artistik” yang lebih menjangkau pada tema-tema individual-spiritual. Secara khusus lagi Sujiwo Tejo membawa gagasan kolaborasi “provokatif”, Nasirun membawa gagasan kolaborasi “dekoratif”. Karena itulah, semangat persatuan akan perbedaan semacam ini menjadi wacana penting dalam seni rupa kontemporer. Sangat jarang atau nyaris sulit mendapatkan agenda kolaborasi “sosial-politikartistik” semacam ini dalam beberapa dekade terakhir.
Jika ditarik lagi dalam perkembangan seni yang lebih kontemporer, apa yang dilakukan oleh Nasirun-Tejo adalah buah dari konsep seni hibrid yang tergolong baru di Indonesia. Apa yang mereka lakukan bukan saja pertemuan antara hal yang fisik (Nasirun) dan fisik (Sujiwo Tejo), tetapi juga merupakan pertemuan virtual, antara seniman di studio dan penonton di youtube. Sehingga agenda ini bisa dikatakan sebagai bentuk “seni media sosial” dengan catatan khusus. Seni media sosial dalam konteks ini diartikan sebagai segala sesuatu atau karya kreatif yang menggunakan media sosial, baik sebagai sumber ilham, materi, media penyajian, maupun sebagai titik awal kritik atas realitas.
Oleh sebab itu, aksi kolaboratif ini menjadi salah satu bentuk contoh perkembangan pameran dengan genre yang baru. Pertama, penonton diberi sajian performance berupa proses mereka berkarya sepanjang 24 jam. Kedua, studio lukis menjadi ruang pamer sekaligus panggung untuk menaungi berbagai keperluan, termasuk sajian musik, diskusi, monolog, ataupun diskusi yang sebelumnya tak mungkin tersaji dalam ruang pamer konvensional. Ketiga, dengan menggunakan live streaming youtube, “pameran” yang diselenggarakan di sebuah studio di wilayah yang tidak dipakai sebagai galeri, berubah menjadi tontonan yang bersifat global, penonton bebas berinteraksi, temu seniman dan penggemarnya, maupun untuk menghasilkan arsip audio-visual yang baru. Dengan demikian, apa yang disajikan oleh Nasirun dan Sujiwo Tejo menjadikan “pameran seni di media sosial” tidak memiliki batas yang jelas antara karya dan ruang, tidak membedakan mana proses dan hasil, sekaligus menghasilkan karya fisik (lukisan) dan karya non-fisik (audiovisual), seni pertunjukan dan seni rupa ditampilkan secara simultan.
Itulah daya tarik aksi perfomatif-kolaboratif Nasirun & Sujiwo Tejo yang bisa dipakai sebagai penanda zaman pasca-pandemi covid-19.
Kontekstualisasi Seni & Politik
Hubungan seni dengan persoalan di luar seni sering menghasilkan sesuatu yang tak terbatas. Terkadang jauh melampaui yang dipikirkan dan diharapkan oleh pembuatnya. Fungsi karya seni kemudian jauh dari persoalan estetika. Ia bisa tidak lagi menjadi “seni” atau milik dunia seni, karena kepentingan di luarnya. Apalagi ketika memasuki wilayah politik, ekonomi, sosial, religi dan lainnya. Sejarah telah membuktikan bahwasanya urusan kesenian bahkan menjadi lebih penting dibicarakan, ketika terkait dengan urusan di luarnya. Demikian pula karya hasil kolaborasi Nasirun-Sujiwo Tejo ini.
Lima puluh karya Nasirun-Sujiwo Tejo yang ditampilkan kali ini bagi saya memberi kesan khusus. Lukisan-lukisan yang dilahirkan dari dua “DNA” yang berbeda ini memberi petunjuk bahwa kemampuan keduanya saling berkelindan, tetapi eksis secara mandiri. Tampak sekali garis ritmis yang dikerjakan oleh Nasirun, beradu dengan garis “kaku”-nya Sujiwo. Cipratan dan lelehan pigmen warna yang biasa dipakai Nasirun pun bersanding dengan jejak goresan kuas Sujiwo Tejo yang gradatif. Apalagi bila dilihat dari bentuk objek dan tebaran warna yang dilahirkan. Nasirun dalam beberapa kanvas tetap konsisten “menghias”, sedangkan Sujiwo “merusak” pola hias. Ataupun kebiasaan Sujiwo Tejo menulis tentang segala sesuatu muncul pada beberapa kanvas. Berbeda dengan Nasirun yang selama ini tak pernah mengekspos teks dalam lukisan secara verbal.
Karya-karya yang dihasilkan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam 3 sub-tema: 1) potret diri mereka sendiri (them-portrait, bukan self-portrait) seperti pada lukisan Demi Bangsa dan Negara (2023), Domi_ No! Mido_ Yes! (2023), Hil Hil yang Mustahil (2023), Dwi Tunggal (2023), Murid-murid Pak Tino Sidin #1 dan #2 (2022), Rel Kereta (2023) dan Kembang Tujuh Rupa (2023). Semua lukisan them-portrait tidak melukiskan kemiripan atas diri mereka. Gambaran mengenai Nasirun maupun Sujiwo Tejo lebih sebagai bentuk simbolisasi dan abstraksi tentang hal-hal di luar mereka. Meskipun ada wajah, tetapi yang muncul bukan persoalan fisik, tetapi lebih karakter tampilan (misalnya menggunakan topi laken Sujiwo atau rambut gondrong “mekar” Nasirun). Selebihnya, mereka mempertautkan diri dengan berbagai situasi zaman.
Klasifikasi kedua adalah bertema dunia post-tradisi seperti pada lukisan bertajuk All the Hanom_s Men (2023), Alup Paup, Hap, Lalu Ditangkap (2023), Anak Kesayangan (2023), Ha Na Ca Ra Ka (2023), Hasta Brata (2023), Manjing (2023), Zero but Not Empty (2023); Pilu dan Pemilunya (2023) dan Malangkerik (2023). Beberapa lukisan berkategori ini tidak sedang menggubah wayang, atau pepatah, atau budaya tradisi sebagaimana biasanya. Karya-karya ini lebih mengutarakan budaya tradisi sebagai media untuk melakukan polarisasi pikiran-pikiran liar Sujiwo maupun Nasirun.Meskipun yang ditampilkan adalah bentuk-bentuk wayang seperti Semar, Hanoman, Arjuna dan teks “Titi Kolo Mongso”, tetapi tafsir yang muncul selalu terkait dengan keberadaan dunia masa kini yang ramai oleh berbagai kasus dan kompleksitas zaman.
Ketiga adalah lukisan-lukisan yang berangkat dari dunia politik dan sosial hari ini. Karya-karya seperti Ada Pintu di Sini tapi Sudah Dijual (2023), Bercermin (2023); Buka Malam Siang #1 & #2 (2023); Don Juan (2023); Jokoting (2023), Dukun Policik (2023), Kabar Baik dari RRI (2023); Ning Nang Ning Gung (2023); Negara Api Biru (2023); Among-Among (2023); Lawan Arah Jam Dinding (2022-2023); dan Pemimpin Tangan Besi Mematikan Nyali. Pemimpin yang Dinabikan Mematikan Nalar. (2023) serta beberapa lainnya adalah bagian dari responsibilitas keduanya terhadap masalah yang mereka tangkap saat melihat negeri ini berkembang. Dari lukisan yang berisu politik itu sendiri menghasilkan tafsir mengenai memori masa lalu bangsa, ingatan tentang kompleksnya masalah negara, dan filosofi hidup bernegara, sekaligus harapan tentang sosok presiden ideal terlukiskan di dalamnya.
Dari ketiga klasifikasi ini kesimpulannya hanya satu, yakni 50:50 alias “pa-da-ja-yanya” seperti dalam literasi Jawa yang kita kenal. Artinya tak ada dominasi, tak ada kalah atau menang, dan tak ada yang tampil lebih dari lainnya. Kolaborasi keduanya seperti pasangan yang saling mengisi. Kerjasama untuk menggali sesuatu yang indah, kemudian dilalui / disajikan secara artistik-kreatif, amat terasa sekaligus menghibur.
Karenanya, kolaborasi ini pantas untuk memulai dan “mendampingi” momen yang kontekstual: pilpres. Tajuk pameran ini pun langsung menukik “Presiden Alternatif: Doa Pemilu Damai dan Bahagia”. Meskipun kata “alternatif” tentu bukan diartikulasi untuk mengajukan diri sebagai presiden “yang lain”. Sebab Sujiwo Tejo sendiri sudah lama menjadi Presiden Jancukers yang terkenal. Di luar itu, mungkin Anda juga mengetahui bahwa Sujiwo Tejo selama ini bercitra seniman yang “dekat dengan politisi” (dekat pula dengan citra dunia chaos, liar, cair) lalu berpadu dengan Nasirun yang dekat dengan tradisi dan spritualitas (dunia yang tenang, tapi menyimpan magma dan kekuatan yang ganas).
Dengan berbagai asumsi ini, aksi kolaboratif mereka penting untuk disajikan. Pameran ini menjadi titi kala mongso yang harus diingat sepanjang masa. Terutama sebagai sarana untuk mempertimbangkan pilihan dan berbagai efek yang akan terjadi setelah masyarakat Indonesia menghadapi pemilu di tahun depan. Mari gunakan “gagasan literer + gagasan artistik” dalam memilih presiden, mungkin itu jalan yang indah, damai dan bahagia, semisal akhirnya pun harus kecewa yang terpilih bukan yang ideal buat kita.
Salam syeni dari Yogyakarta.