SENI YANG BERSEMANGAT DEMOKRASI
Tahun 2003, terbit satu buku menarik berjudul “Citizen Designer: Perspectives on Design Responsibility”, karya Steven Heller, Veronique Vienne. Buku ini mengajak para desainer untuk tidak hanya tenggelam melayani pesanan perusahaan dengan profit tertentu, tetapi juga secara sadar turut mengembangkan desain yang memihak kepentingan publik. Buku ini berusaha meyakinkan, para pekerja kreatif sesungguhnya adalah juga warga negara sehingga bertanggung jawab untuk membangun kehidupan yang sehat.
Terdiri dari sejumlah artikel dan hasil interview menarik, buku ini bergumul dengan sejumlah gugatan mendasar. Salah satunya, mungkinkah seorang desainer ambil bagian dalam kampanye untuk mendorong perubahan sosial politik ekonomi yang lebih baik? Jika mungkin, sampai sejauh mana desainer mewujudkan tanggung jawabnya sebagai warga negara?
Pertanyaan-pertanyaan serupa juga dapat kita ajukan kepada pekerja kreatif lain, yaitu pelukis. Apakah perupa berwajibkan untuk ambil bagian dari gerakan memajukan bangsa? Atau lebih dikerucutkan lagi, apa yang dapat dikerjakan perupa melalui karyanya dalam mendorong konsolidasi demokrasi, seperti dalam pemilu?
Sebelum jauh menjawab soal-soal itu, ada baiknya kita mengingat beberapa momen sejarah yang menggambarkan, bagaimana para seniman juga turut “cawe[1]cawe” dalam membangun bangsa. Itu bisa kita mulai dari masa sebelum penjajahan.
Tahun 1938, sejumlah seniman mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Mereka, antara lain, Agus Djaya, S Sudjojono, Soediardjo, L Setiyoso, Emiria Soenassa, Saptarita Latief, S Toetoer, Sindhusisworo, Soeaib, Soekirno, Soerono, Suromo dan Otto Djaja. Dengan mengusung nama “Indonesia,” mereka bersemangat untuk memperkuat gagasan tentang bangsa yang saat itu masih di-imaginasikan--pinjam istilah “imagined community” dari Benedict Anderson.
Keindonesiaan itu kemudian diwujudkan dengan kegiatan melukis kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Mereka menolak lukisan pemandangan serba indah ala pelukis-pelukis Mooi Indie yang suntuk melukis gunung, sawah, sungai, atau hamparan padi menguning. Semua itu hanya satu perspektif yang cenderung turistik.
Para seniman Persagi serius mengangkat kehidupan sehari-hari, apa adanya. Saat rakyat menderita akibat penjajahan, maka kanvas para pelukis komunitas ini juga dipenuhi dengan sosok-sosok warga yang miskin teraniaya. Ketika para pejuang angkat senjata melawan kolonial, maka seniman juga mengabadikan kisah para gerilyawan. Begitu pula diangkat denyut nadi kesenian rakyat, seperti ketoprak atau ludruk.
Pada masa seputaran Proklamasi Republik Indonesia 1945, para seniman terlibat dalam menjaga semangat perjuangan kemerdekaan. Mereka membuat poster, grafti, mural, juga grafis (cukil kayu) yang berisi ajakan untuk terus menjaga persatuan, mempertahankan kemerdekaan, dan waspada terhadap kekuatan asing yang bernafsu menguasai Kembali negeri ini. Karya mereka tersebar di tembok kota, gerbong kereta, gedung-gedung, atau gardu jaga yang mudah dilihat warga.
Para seniman berkolaborasi erat dengan para pejuang kemerdekaan. Kebetulan, salah satu proklamator yang juga Presiden RI pertama, Soekarno, dekat dengan para seniman. Pendidikan formalnya teknik sipil dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung. Namun, dia juga seorang pelukis berbakat dan sempat berkarya, terutama saat diasingkan kolonial Belanda ke luar Pulau Jawa.
Salah satu wujud kolaborasi itu berupa satu poster monumental, berjudul “Boeng, Ajo Boeng” (1945). Poster menggambarkan lelaki yang memutus rantai di tangannya yang mengepal. Satu tangan menggenggam bendera merah putih. Mulut lelaki itu berteriak lantang. Pada bagian bawah, terpampang tulisan “Boeng, Ajo Boeng”.
Mengutip catatan sejarah oleh perkumpulan Desain Grafis Indonesia (DGI), gagasan poster ini muncul dari Soekarno. Pelukis Dullah menjadi model. Affandi yang menggambarnya. Kata-kata “Boeng, ajo boeng” merupakan sumbangan dari penyair Chairil Anwar atas permintaan pelukis Soedjojono. Jadi, poster ini hasil kerja keroyokan.
Setelah kelar, poster itu diperbanyak oleh sekelompok pelukis yang bekerja siang-malam. Hasil perbanyakan lantas dikirimkan ke berbagai daerah. Karya ini terdokumentasikan sebagai salah satu poster propaganda perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Lompat jauh ke masa sekarang, apa yang dapat dilakukan para pelukis masa kini untuk berkontribusi bagi bangsa? Para seniman dapat memperjuangkan bangsa melalui karya seni sesuai pilihan dan karakternya. Tentu saja, tak harus persis dengan zaman kemerdekaan 1945. Toh, setiap zaman punya dinamika dan tantangan masing-masing.
Dalam konteks ini, Nasirun dan Sujiwo Tejo mengajukan tawaran yang asyik. Mereka berdua berkolaborasi untuk membuat 50-an lukisan. Kebetulan keduanya mengeluti wayang. Tejo seorang dalang yang ngetop. Nasirun tumbuh dalam tradisi wayang dan tekun mengambil inspirasi dari kisah pewayangan untuk dijadikan tema dalam lukisan-lukisannya. Pelukis itu juga memproduksi sejumlah wayang versi seni rupa masa kini.
Dua seniman itu mendalami metafor dari dunia pewayangan, mengolah karakter (seperti Petruk dan Semar), lantas mengemasnya dalam bahasa gambar. Secara tersurat, terpampang bentuk-bentuk wayang. Namun, secara tersirat, dapat digali nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), ketuhanan (transendental), dan lingkungan.
Ada juga berbagai permenungan yang ditorehkan dalam bentuk catatan-catatan sekilas di bidang-bidang lukisan. Kadang terbaca jelas, kadang samar-samar. Lewat gubahan-gubahan abstraksi, mereka menyentuh dimensi spiritual. Mirip gumaman atau doa-doa dalam hati yang tak terkatakan.
Beberapa lukisan menampilkan gambar-gambar manusia masa kini dengan kegiatan sehari-hari. Sebagian karya berisi gambar permainan mereka dengan potret diri. Semua itu menjadi sampiran untuk menjangkau makna lebih mendasar, seperti kebaikan, cinta tanah air (patriotisme), persatuan, penghargaan atas keberagaman, toleransi, kerukunan, dan perdamaian.
Kurang lebih nilai-nilai semacam itu yang disampaikan Nasirun dan Sujiwo Tejo dalam pameran bertema “Presiden Alternatif: Doa Pemilu Damai dan Bahagia” di Bentara Budaya Jakarta, 31 Agustus-9 September 2023. Ambil momen mendekati pendaftaran calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), pameran ini berusaha mengajak bangsa Indonesia untuk membangun demokrasi yang sehat. Rakyat didorong untuk jernih dalam memilih dan menggunakan hak suara sehinga menghasilkan pemimpin sesuai harapan.
Dalam hal ini, kolaborasi antara dua seniman itu menjadi penanda yang positif. Meski sama-sama mendalami dunia wayang, keduanya memiliki karakter berbeda. Nasirun sepenuhnya pelukis. Tejo populer dengan banyak profesi, seperti dalang, aktor, pemusik, juga penulis.
Dua pribadi yang berbeda itu bertemu, saling membuka diri, melukis bersama, dan kemudian berpameran berdua. Berawal dari kolaborasi melukis bersama selama 24 jam di studio Nasirun di Yogyakarta, 17 Juli 2022, keduanya melanjutkan kegiatan bersama hingga mendekati pameran Agustus 2023.
Perbedaan dan ego masing-masing diterabas demi membangun satu frekuensi bersama yang nyaman. Barangkali inilah jalan yang ditempuh dua seniman itu untuk menunjukkan tanggung jawab sebagai warga negara yang mencintai negeri ini.
Bentara Budaya menyambut hangat niat Nasirun dan Sujiwo Tejo untuk berkolaborasi dalam bentuk pameran dwitunggal. Selamat berpameran. Terima kasih kepada semua pihak yang membantu program ini. Penghargaan untuk tim Bentara yang bekerja mewujudkan pameran ini hingga terlaksana dengan baik. Selamat menikmati.
Palmerah, 2 Agustus 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication, Kompas Gramedia