BELAJAR DARI VAN GOGH
Pada akhir tahun 2018, saya berkesempatan kembali mengunjungi Museum of Modern Art di New York, Amerika Serikat. MoMA, begitu kependekan museum itu, memiliki sejumlah koleksi karya seni rupa modern yang besejarah. Salah satunya, lukisan “The Starry Night” karya Vincent Van Gogh (1853-1890).
Saya memang sengaja mengincar karya buatan tahun 1889 itu dan telah dikoleksi oleh MoMA sejak tahun 1941. Beberapa meter sebelum tiba di tempat lukisan digantung, banyak pengunjung bergerombol. Sejumlah petugas berseragam mengatur orang-orang agar mau mengantre tertib. Ada pagar mengelilingi lukisan demi memastikannya aman dari jangkauan tangan usil.
Dapat giliran mendekat, saya tatap lukisan itu lekat-lekat. Gembira rasanya berhadapan langsung dengan karya yang selama ini hanya dapat dilihat dalam buku-buku sejarah seni rupa modern. Ukurannya tak terlalu besar, hanya 73 centimeter × 92 centimeter. Namun, karya itu memang istimewa.
Pemandangan malam berbintang terpampang indah di atas kanvas. Pohon pinus dengan dahan meliuk-liuk menonjol di bagian depan. Di tengah, ada deretan rumah, juga gereja dengan menara lancip. Bagian belakang, dipenuhi gugusan perbukitan dan pepohonan. Langitnya dipenuhi bintang-bintang.
Warna biru, terutama “ultramarine blue” dan “cobalt blue”, mendominasi landscape itu. Pepohonan hijau kehitaman. Bintang-bintang memendar dengan warna kuning keputihan. Langit seperti sedang berangin. Itu terasa dari gambaran guratan kasar yang berputar-putar.
Vibrasi lukisan itu membuat saya terhanyut membayangkan malam yang pernah dilihat dan diabadikan Vincent van Gogh. Dalam situs resmi MoMA disebutkan, seniman asal Belanda itu membuat karya tersebut saat dirawat di rumah sakit jiwa Saint-Paul-de-Mausole di Saint-Rémy, Prancis, tahun 1889–1890. Perawatan itu bagian dari usaha menyembuhkannya dari gangguan mental.
Setahun sebelumnya, Van Gogh memotong satu telinga kirinya dengan pisau cukur. Saat itu, dia tinggal bersama pelukis Paul Gauguin di Arles, Paris. Namun, keduanya kerap bertengkar. Satu versi sejarah mengungkapkan, hubungan persahabatan yang rusak membuat dia depresi dan nekat memotong telinganya sendiri.
Insiden itu membuat Van Gogh divonis mengalami gangguan kejiwaan. Dokter mendiagnosa, seniman itu mengalami kecanduan alkohol, gangguan bipolar, depresi, epilepsi, dan halusinasi. Seniman itu mengaku seakan mendengar suara-suara bisikan. Konon, pemotongan telinga termasuk uji coba untuk membungkam bisikan itu.
Van Gogh lantas dirawat di rumah sakit jiwa Saint-Paul-de-Mausole. Suatu malam, dari jendela kamarnya, dia mendapati malam yang tak biasa dengan bintang-bintang memendar cerah. Dia pun melukisnya. Kegiatan itu dia kabarkan pada adiknya, Theo, melalui surat yang rutin dikirimnya.
Lukisan “The Starry Night” kemudian menjadi salah satu “masterpiece” seniman itu dan berhasil menggambarkan semangat post impresionisme yang lebih ekspresif. Lukisan “The Starry Night”, juga karya-karya lain setelah Van Gogh sakit, juga membuktikan bahwa orang dengan gangguan kejiwaan dapat menghasilkan karya seni yang menarik. Masalah mental tidak serta merta menghambat kemampuan seseorang untuk membuat karya seni, seperti melukis. Dalam kasus Van Gogh, bahkan “kegilaan” justru turut berkontribusi dalam meningkatkan daya getar dan kekhasan lukisannya.
Jangan dibalik, bahwa seseorang harus “gila” atau memaksakan diri untuk berperilaku “sinting” demi menghasilkan karya seni yang baik. Namun, jelas bahwa ketika seseorang mengalami gangguan kejiwaan, katakanlah autisme dengan segala spektrumnya, juga dapat berkarya seni. Dalam sejumlah kasus, autisme bahkan bisa mendorong kreativitas seseorang untuk mengembangkan perspektif dan karakter yang unik dalam berkarya seni.
Dalam konteks semacam inilah, Bentara Budaya bekerja sama dengan Yayasan Autisma Indonesia (YAI) menggelar Pameran Seni Rupa “Bianglala Seribu Imajinasi”, 5-11 April 2023. Ada 29 orang yang tampil. Masing-masing menyuguhkan karya yang beragam.
Terima kasih kepada para seniman, YAI, tim Bentara, dan semua pihak yang bahumembahu mewujudkan pergelaran ini. Semoga karya-karya di sini dapat semakin memperkarya khazanah seni rupa di Indonesia.
Palmerah, 1 April 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corp Com, Kompas Gramedia