Selama puluhan tahun, wartawan senior Sindhunata telah melakoni lelaku menulis yang menghasilkan banyak karya. Meski ragam tulisannya sangat beraneka, karya-karyanya dianggap memiliki benang merah, yakni keberpihakan kepada kemanusiaan dan kaum terpinggirkan.
Pemihakan Sindhunata terhadap kemanusiaan itu terlihat jelas dalam pameran literasi bertajuk Lelaku Nulis 70 Tahun Sindhunata yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, 17-22 Mei 2022.
Pameran untuk merayakan ulang tahun ke-70 Sindhunata itu digelar atas kerja sama sejumlah pihak, di antaranya Kompas Gramedia, Bentara Budaya, harian Kompas, Gramedia Pustaka Utama, majalah Basis, dan Omah Petroek.
Dalam pameran itu ditampilkan sejumlah karya Sindhunata, yaitu berupa buku, esai, laporan jurnalistik, analisis sepak bola, dan lain sebagainya. Ada juga foto, lukisan, dan karya seni lain yang bertaut erat dengan perjalanan menulis Sindhunata.
Salah satu tulisan yang ditampilkan dalam pameran itu adalah feature human interest karya Sindhunata yang berjudul ”Menjelang Lebaran di Tepi Kali Bekasi: Nenek Aminah Berlinang Airmatanya”. Tulisan yang dimuat di harian Kompas pada 14 Agustus 1980 itu bercerita tentang seorang nenek bernama Aminah yang bekerja sebagai pendayung rakit penyeberangan Kali Bekasi.
Dalam tulisan yang sarat nilai kemanusiaan itu, Sindhunata mengisahkan keharuan Aminah saat menerima bantuan dari pembaca Kompas. Sang pembaca memberikan bantuan setelah menyimak kisah Aminah yang dimuat di Kompas beberapa hari sebelumnya.
Tulisan lain yang ditampilkan adalah laporan jurnalistik Sindhunata tentang Pak Gepuk, seorang petani asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang juga merupakan seniman pembuat wayang dengan bahan rumput. Tulisan berjudul ”Berguru pada Kesunyian Rumput-rumput” itu dimuat di harian Kompas pada 30 Agustus 1995.
Dalam pembukaan pameran, Selasa (17/5/2022) malam, Direktur Corporate Communication Kompas Gramedia Glory Oyong menuturkan, pameran Lelaku Nulis 70 Tahun Sindhunata menampilkan perjalanan menulis Sindhunata yang panjang dan telah menghasilkan karya beragam. Selain menulis karya sastra dan laporan jurnalistik tentang peristiwa di masyarakat, Sindhunata juga banyak menulis tentang sepak bola serta kesenian.
”Ketika melihat pameran ini, kita bisa mengetahui perjalanan literasi Romo Sindhunata. Ternyata beliau tidak hanya melihat apa yang terjadi di masyarakat, tapi juga memiliki kecintaan terhadap sepak bola dan seni,” kata Glory.
Glory menambahkan, sosok Sindhunata tidak bisa dilepaskan dari Bentara Budaya yang merupakan lembaga kebudayaan di bawah Kompas Gramedia. Hal ini karena Sindhunata merupakan salah seorang pendiri Bentara Budaya sekitar 40 tahun silam.
Saat memberi sambutan dalam pembukaan pameran, Sindhunata mengucapkan terima kasih kepada harian Kompas dan Bentara Budaya yang telah memberi dukungan sangat besar terhadap perjalanan berkaryanya. Bahkan, Sindhunata menyebut, tanpa dukungan dua lembaga tersebut, dirinya tak akan bisa menghasilkan karya-karya seperti selama ini.
”Tanpa Kompas dan Bentara Budaya, tidak ada tulisan-tulisan saya. Jadi, kalau toh ada kesuksesan dan keberhasilan, sebenarnya dukungan dari lembaga itu sangatlah kuat. Tidak mungkin tanpa Kompas dan Bentara Budaya, saya bekerja seperti ini,” tutur Sindhunata.
Kemanusiaan
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, sosok dan karya Sindhunata menjadi pengingat bahwa seorang jurnalis harus bekerja untuk kemanusiaan. Sutta menyebut, saat banyak masalah kemanusiaan muncul beberapa tahun terakhir ini, karya dan sosok Sindhunata justru menyatukan banyak pihak yang berbeda.
”Di tengah kondisi seperti saat ini, ketika persoalan-persoalan kemanusiaan banyak terdegradasi dan manusia menjadi semakin terkotak-kotak, Romo Sindhunata justru membuat kita menjadi menyatu,” kata Sutta.
Oleh karena itu, Sutta mengajak semua pihak melanjutkan kerja-kerja Sindhunata yang telah dilakukan selama puluhan tahun terakhir. Apalagi, hingga sekarang, masalah kemanusiaan tetap menjadi masalah penting yang harus mendapat perhatian.
”Tugas buat kita semua untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Romo Sindhunata. Persoalan kemanusiaan tentu masih relevan buat sekarang ataupun yang akan datang,” ujar Sutta.
Editor Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti, mengatakan, bagi Sindhunata, menulis telah menjadi sebuah cara hidup. Namun, Mirna juga menyebut, proses menulis yang dilakukan Sindhunata bukanlah semata-mata untuk menghasilkan karya, melainkan juga untuk menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang terpinggirkan.
”Dari Romo Sindhunata, kami belajar bahwa menulis itu bukan demi menulis itu sendiri, tapi demi memaknai realitas dan menggerakkan laku, khususnya untuk mereka yang kerap tersingkirkan. Itulah pelajaran paling penting yang dapat kami serap dari Romo Sindhunata,” kata Mirna.