Moelyono, Tebu, Pabrik Gula, dan Ludruk
Tebu sebagai suvenir. Sungguh suatu pengalaman unik ketika berkunjung ke pembukaan pameran tunggal "Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa" pada 10 Juli 2025 di Bentara Budaya Jakarta, pengunjung diberi cendera mata berupa sebatang tebu sepanjang tiga ruas. Tanaman tebu juga menghias area tengah ruang pamer yang ditata bersama bale, topi putih, klenengan sapi, dan arit. Bahkan rangkaian acara pembukaan pameran diawali dengan cuplikan pentas ludruk Budhi Wijaya dengan lakon "Geger Pabrik Gula Gempol Kerep".
Hal ini bukan disebabkan sang seniman Moelyono 'jatuh hati' pada film "Pabrik Gula" yang belum lama ini menghias layar bioskop. Melainkan karena Moelyono, alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, selama ini tertarik dan berupaya dapat berinteraksi langsung dengan ludruk. Sejak lama ia berdampingan dengan ludruk "Budhi Wijaya" dari Desa Ketapang Kuning Kecamatan Ngusikan Kabupaten Jombang Jawa Timur.
Ludruk tersebut berkaitan erat dengan masyarakat desa, perkebunan tebu, dan pekerja pabrik gula. Kebetulan tepat di depan rumah Didik Purwanto, pemimpin Ludruk Budhi Wijaya terhampar perkebunan tebu. Selain itu, ada beberapa pabrik gula di kabupaten Jombang, baik yang telah tutup maupun masih berproduksi, seperti Pabrik Gula Djombang Baru.
Berada di lingkungan demikian, dinamika kehidupan dan persoalan sosial, serta konflik antara rakyat jelata dan penguasa yang bersinggungan dengan pabrik gula menjadi tema pertunjukan ludruk. Menurut kurator Frans Sartono," Moelyono jatuh cinta pada ludruk. Baginya perkebunan tebu, pekerja pabrik gula, warga desa dam ludruk telah menjadi ekosistem budaya yang tak terpisahkan".
Ketertarikan Moelyono secara utuh terhadap ludruk, kemudian diolah dan dituangkan dalam bentuk gambar diatas kertas dan lukisan di atas kanvas. Namun, ia tidak serta merta menuangkan ludruk dalam konteks biasa. Ia mengeksplorasi dan menyajikannya kembali dengan 'spirit seni' Raden Saleh Sjarif Boestaman, pelukis besar Indonesia. Sebagai contoh lukisan Moelyono "Geger Pabrik Gula" (Revisi 2025, 200x400 cm, akrilik di atas kanvas) yang mengapropriasi ide lukisan Raden Saleh Sjarif Boestaman " Penangkapan Pangeran Diponegoro" (1857).
Lukisan ini menampilkan dunia ludruk dan suka dukanya. Ada pemain transgender tengah berhias di belakang panggung, memakai kostum tradisional, dan ada yang sudah berpentas di panggung.
Lukisan lain yang menarik diperhatikan adalah "Primadona Ludruk" (2025, 150x192 cm, cat minyak di atas kanvas). Lukisan tersebut menggambarkan tokoh penting dalam ludruk duduk di kursi seraya memangku seekor rusa yang tertusuk beberapa anak panah. "Arit di Bawah Lori Tebu" (2025, 80x100 cm, cat minyak di atas kanvas).
Bagi Syakieb Sungkar, pekerja seni yang terlibat pada kegiatan ini, karya Moelyono berisi simbol-simbol bermakna yang perlu dikaitkan satu persatu. Sementara dalam ekatalog pameran, disebutkan acara yang berlangsung hingga 19 Juli 2025, mengajak kita masuk ke dalam dunia Moelyono, seniman dan penggerak pendidikan rakyat yang selama lebih dari empat dekade menjadikan seni sebagai praksis keberpihakan. Pameran ini juga mempertemukan kita dengan beragam bentuk dan makna; lukisan, instalasi, video dan pentas Ludruk, yang menandai delapan tahun perjalanan kolektif Moelyono dengan kelompok Ludruk Budhi Wijaya. Sebuah perjalanan menarik yang dituangkan ke dalam karya Moelyono. Silakan datang dan buktikan.
Link artikel: https://www.kompasiana.com/muzlifahmuhiddin/687492dbed6415703f742d43/moelyono-tebu-pabrik-gula-dan-ludruk?page=1&page_images=1