Pembukaan Pameran Moelyono: Lukisan, Ludruk & Gamelan sebagai Suara Desa
Kemarin malam, Kamis (10/7/2025), Komunitas Kompasianer Jakarta alias Kopaja71, berkesempatan menghadiri pembukaan Pameran Tunggal Moelyono & Seni Rupa Luurukan Desa di Bentara Budaya Jakarta.
Saya tiba di lokasi pukul 18.55 WIB, langsung melakukan pendaftaran. Dari Kopaja71, hadir di antaranya: Bang Horas, Mbak Ria, Pak Sutiono, Bu Erry, dan Pak Andri.
Di area pendaftaran, kami duduk ngobrol sejenak sambil menikmati teh hangat dan makanan ringan yang disediakan oleh panitia.
Ada juga tebu segar, disediakan oleh panitia pendaftaran, yang boleh dibawa pulang gratis oleh peserta. Beberapa peserta, seperti Mbak Ria dan Bu Erry turut mengambil tebu.
Sekitar pukul 19.15 WIB, acara dimulai, walau telat 15 menit dari jadwal awal, yaitu pukul 19.00. Kami pun bergegas memasuki ruangan dengan cahaya lampu remang-remang.
Sambutan bergantian disampaikan oleh perwakilan Bentara Budaya dan sang seniman, Moelyono (Moeljono, ejaan lama), diiringi alunan musik gamelan--menambah nuansa kultural yang kental di pembukaan acara.
Gamelan adalah musik ansambel tradisional yang berasal dari Jawa. Ia memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada (laras) slendro dan pelog. Terdiri dari instrumen musik perkusi yang digunakan pada seni musik karawitan.
Puncak acaranya berupa pertunjukan singkat dari kelompok Ludruk Budhi Wijaya---berasal dari Desa Ketapang Sari, Jombang, Jawa Timur.
Acara resmi ditutup oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Priyadi, dengan tradisi memukul kentongan sebagai simbol pembukaan pameran.
Oke, kita tinggalkan rangkaian acaranya. Sekarang, kita beralih membahas apa makna sosial-historis di balik Pameran Tunggal Moelyono & Seni Rupa Luudrukan Desa.
Dalam cuplikan pertunjukkan kelompok Ludruk Budhi tadi malam, saya berusaha untuk menangkap percakapan dari para pemeran.
Adegan ini memperlihatkan kepada penonton tentang perjuangan buruh tani perkebunan tebu, yang menolak tunduk pada represei kaum pemilik modal, para tuan tanah, dan para penguasa korup.
Yang menarik dari adegan ini, kelompok Ludruk tidak melawan dengan senjata, melainkan dengan gamelan dan komedi satirnya, yang menyembuhkan dan membakar semangat perjuangan rakyat kecil.
Semangat juang inilah, yang kemudian direpresentasikan di dalam lukisan-lukisan Moelyono, yang terpampang di dalam ruangan.
Dengan demikian, ruang pameran ini tidak hadir sebagai panggung tunggal untuk melihat Ludruk, tapi sebagai medan interaksi, di mana jejak-jejak Ludruk dan proyek-proyek sosial Moelyono sepanjang hidupnya dapat memicu ingatan dan pertanyaan.
Pameran ini diselenggarakan di Jakarta, tentulah bukan sebuah kebetulan. Jakarta menjadi simbol kapitalisme global dan keitimpangan ruang--pameran ini tampil sebagai alternatif terhadap strategi resistensi melalui seni budaya.
Pameran ini dibuka tadi malam, dan akan berlangsung selama beberapa hari ke depan. Dimulai pada hari ini, Jumat 11 hingga 19 Juli 2025, di Bentara Mudaya Jakarta, Jl. Palmerah Selatan No. 17, Jakarta Pusat, mulai pukul 10.00 hingga 18.00 WIB.