Memvisualisasi Tumpukan Memori dalam Kombinasi Narasi dan Ilustrasi
Bentara Budaya Jakarta menggelar pameran Komik Graphic Memoir. Karya di pameran ini mengeksplorasi visual tentang kenangan, perjalanan hidup, dan cerita masa kecil.
JAKARTA, KOMPAS — Manusia punya tumpukan memori yang merekam momen-momen tak terlupakan. Saat divisualisasikan menjadi komik atau memoar grafik, memori itu bisa menjadi bekal membuat karya seni yang mengombinasikan kekuatan narasi dan ilustrasi.
Visualisasi memori itu disuguhkan dalam pameran Komik Graphic Memoir di Bentara Budaya Jakarta yang berlangsung pada 12-22 Juni 2025. Pameran ini diikuti 62 seniman dari dalam dan luar negeri. Pergelaran pameran tersebut bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) dan Program Studi Desain Komunikasi Visual (Deskov) Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Para seniman yang terlibat terdiri dari 21 peserta undangan, termasuk tiga komikus asal Perancis dan seorang komikus Amerika Serikat, serta 41 seniman hasil open call dan perwakilan dari Program Studi Deskov IKJ.
Pameran ini mengeksplorasi visual tentang kenangan, momen kecil, perjalanan hidup, hingga cerita masa kecil yang dituangkan melalui medium komik. Pameran tersebut dibuka oleh Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar.
Kurator pameran, Frans Sartono, mengatakan, karya-karya dalam pameran ini mengangkat beragam realitas sosial dalam keseharian. Realitas itu tersimpan dalam memori, tetapi tidak selalu diungkapkan, bahkan tidak jarang justru terabaikan.
”Karya memoar grafik mengajak kita merebut kembali keseharian itu yang belakangan ini seperti tergilas oleh gemuruhnya arus informasi, hiburan yang banal, dan sebagainya,” ujarnya dalam pembukaan pameran, Kamis (12/6/2025) malam.
Realitas tersebut tidak selalu menyenangkan. Ada juga yang mengungkapkan kesedihan atau kisah kelam. Namun, justru dalam hal itu memoar grafik bisa menjadi semacam terapi dari luka batin yang pernah dialami.
Frans menyampaikan, sistem peserta undangan terbuka atau open call dimaksud untuk merangkul siapa saja yang ingin berbagi memori lewat karya memoar grafik. Lewat karya komik itu, orang dapat berbagi rasa yang mungkin jarang atau bahkan belum pernah diungkapkan.
Salah satu komik yang dipamerkan berjudul ”The Demonstrator and Mr President” karya Saut Irianto Manik. Karya ini menggambarkan kisah unjuk rasa berdarah di jalanan. Para mahasiswa terluka akibat aksi represif aparat. Bercak darah di sepatu aparat menggambarkan kekerasan yang tak terbantahkan.
Narasinya tak kalah kuat. Narasi itu pula yang membuat pengunjung dengan mudah melacak latar komik itu berkaitan erat dengan unjuk rasa 1998 yang mengawali era reformasi. Komik tersebut ditutup dengan tulisan ”Mimpi buruk anak-anak zaman, para pencari keadilan sejak 27 tahun lalu masih berjalan, di jalanan yang sama”.
Membingkai realitas sosial
Sejumlah karya komik lainnya membingkai realitas sosial dengan beragam pendekatan. Komik ”Crying in The Rain” karya Emul Yono, misalnya, menggabungkan kisah sedih sekaligus melegakan dalam satu rentetan cerita.
Komik ini menceritakan seorang pemuda yang mengayuh sepeda menuju indekos temannya. Ia kelaparan. Perutnya terasa melilit. Satu-satunya harapan adalah temannya itu untuk ia meminjam uang. Namun, sesampainya di tujuan, indekos itu kosong melompong.
Pemuda itu mengayuh sepedanya lagi. Di tengah hawa dingin yang menusuk tulang, setang sepedanya ditabrak sepeda motor dari belakang. Ia pun terjatuh. Kakinya terluka. Pengemudi sepeda motor meminta maaf dan memberikan uang Rp 25.000.
Uang tak terduga itu dipakai pemuda tersebut untuk makan nasi kucing, sate, dan bakwan di angkringan. Dengan tangan gemetar menahan lapar, ia melahap makanan itu. Lukanya tidak langsung diobati, tetapi perutnya akhirnya terisi.
Genre tersendiri
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengatakan, grafik memoar merupakan kenang-kenangan personal yang diekspresikan dalam bentuk gambar atau sketsa. Di dalamnya terdapat teks, tetapi elemen utamanya tetap visual.
”Karya-karya ini menandai satu genre tersendiri dari komik yang berupaya mengembangkan storytelling versi setiap seniman dengan latar belakang bermacam-macam. Oleh karena itu, hasilnya berbeda-beda, visualisasinya bervariasi,” ujarnya.
Direktur IFI Jules Irrmann menyebutkan, memoar grafik sangat populer dan diapresiasi di Perancis. Negara itu juga mempunyai sejarah komik amat panjang. ”Saat ini komik lebih populer dari sebelumnya di Perancis dengan lebih dari 600 judul baru diterbitkan tiap tahun,” ujarnya.
Ketua Program Studi DKV IKJ Bambang Tri Rahadian atau dikenal dengan Beng Rahadian mengatakan, memoar grafik bisa menjadi narasi-narasi kecil dari peristiwa sejarah besar. Memoar grafik menjadi karya seni yang merawat ingatan di tengah adanya upaya ”menghaluskan” sejarah tertentu.
”Memoar grafik bercerita dengan jujur, kemudian mengungkapkan apa adanya. Tidak ada tendensi untuk menghilangkan sesuatu, kecuali luka mereka (seniman) sendiri. Ingatan itu tidak boleh dilupakan karena dari peristiwa itu kita belajar menjadi kita yang hari ini dan di masa depan,” jelasnya.