Teknologi informasi semakin canggih. Penyebarannya cepat meluas dan membuat batas-batas geografis kian tak berarti. Namun, derasnya arus informasi tidak serta-merta terkurasi sehingga mendatangkan ”hujan” disinformasi dan misinformasi. Fenomena simpang siur informasi itu dituangkan dalam karya kartun dengan keriuhan beragam ekspresi.
Rupa-rupa paradoks informasi terekam dalam puluhan karya seni rupa pada pameran Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Art Gallery di lantai 8 Menara Kompas, Jakarta. Dalam pembukaan pameran, Kamis (26/9/2024) malam, juga digelar pentas repertoar ”Lakon Tragedi tentang Otak yang Bermigrasi”.
Pameran yang diikuti 19 seniman itu berlangsung hingga 26 Oktober 2024. Pameran dikuratori oleh Frans Sartono dan Hilmi Faiq. Sementara pentas repertoar disutradarai oleh Putu Fajar Arcana.
Karya-karya dalam pameran tersebut merespons bagaimana kekacauan banjir informasi terjadi di era yang serba cepat seperti sekarang. Informasi semakin banyak berseliweran, tetapi juga membingungkan.
”Ada paradoks ketika kehidupan dipermudah oleh teknologi informasi, tetapi di saat bersamaan komunikasi manusia semakin bermasalah,” ujar General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri.
Manfaat kemajuan teknologi informasi jelas tak terbantahkan. Dengan ponsel pintar dalam genggaman, berbagai aktivitas, seperti belanja, bisa dilakukan dengan mudah. Urusan lain, mulai dari pekerjaan, pertemanan, menyalurkan hobi, sampai mencari hiburan, menjadi lebih gampang dan efisien.
Namun, kemajuan teknologi informasi juga berpotensi mendatangkan banyak masalah. Dalam ranah sosial, sebagian masyarakat menikmati media sosial untuk memenuhi hasrat pameran (narsistik) dalam bermacam bentuk. Semua hal dalam dirinya diudar ke publik, seperti flexing hingga mengumbar data pribadi.
Alhasil, apa yang ditangkap masyarakat tidak lagi sesuai informasi semula. Pesan yang awalnya diilustrasikan sebagai seekor kucing berubah menjadi seekor babi. Kartun ini ibarat potret bagaimana kekacauan mengonsumsi informasi menggelinding dalam kehidupan masyarakat.
”Sebaran data pribadi itu justru memicu kejahatan siber. Oleh para kriminal, data itu diolah untuk operasi kejahatan, seperti hacking (pembajakan), doxing (pembongkaran data pribadi), phising (penipuan), peretasan, stalking (penguntitan), atau bullying (perundungan),” jelasnya.
Ilham menambahkan, pameran dan pentas repertoar itu digelar dalam momen ulang tahun ke-42 Bentara Budaya. Lembaga kebudayaan Kompas Gramedia ini berdiri di Yogyakarta pada 26 September 1982. Kemudian disusul di Jakarta pada 1986 dan Bali pada 2009. Pada 2009-2019, Bentara Budaya juga sempat mengelola Balai Soedjatmoko di Kota Solo, Jawa Tengah.
Dalam pameran itu, kompleksitas perjalanan pesan atau informasi digambarkan Gideon Hutapea lewat karya berjudul ”Full Circle of Fact to Fiction in the Age of Information”. Kartun ini menggambarkan bagaimana pejabat menyampaikan pesan kepada media. Pesan itu diilustrasikan dengan gambar seekor kucing.
Informasi tersebut kemudian bergulir di masyarakat. Bergerak di kepala manusia dengan sudut pandang berbeda. Tafsir terhadap informasi itu pun tidak terelakkan.
Alhasil, apa yang ditangkap masyarakat tidak lagi sesuai informasi semula. Pesan yang awalnya diilustrasikan sebagai seekor kucing berubah menjadi seekor babi. Kartun ini ibarat potret bagaimana kekacauan mengonsumsi informasi menggelinding dalam kehidupan masyarakat.
Informasi terkadang tidak lagi mencerahkan, malah dapat membahayakan karena mengalami upaya pemelintiran, seperti pada karya Syaifuddin Ifoed bertajuk ”Bahaya Plintiran”. Informasi juga dapat meracuni seperti digambarkan Saskia Gita Sakanti dalam ”Unreliable Narrator”.
Kemajuan teknologi yang mempercepat arus informasi tidak selalu menguntungkan. Pesan-pesan berseliweran setiap saat. Namun, tanpa sempat dicerna atau dipahami, pesan itu tertimbun oleh berbagai informasi lain yang justru bisa menyebabkan kekacauan.
Rahardi Handining mengekspresikan deru informasi itu dalam karya tiga dimensi berjudul ”Pesan-pesan yang Bergemuruh”. Dalam pembahasannya, kemajuan teknologi seperti pedang bermata dua. Satu sisi memberi keuntungan bagi kehidupan manusia, tetapi di sisi lain memberi ancaman.
Karya yang bertumpu pada sebuah roda itu mengingatkan pentingnya bijak dalam memanfaatkan teknologi informasi. Seperti halnya menggulirkan roda, keseimbangan mengonsumsi informasi juga diperlukan agar tidak ”terjatuh”.
Ancaman lebih parah adalah ketika manusia menjadi budak teknologi komunikasi. Seolah mereka tidak bisa hidup tanpa gawai atau gadget. Banyak orang menderita nomofobia, suatu kondisi psikologis ketika orang takut terlepas dari konektivitas gawai. Gatot Eko Cahyono melukiskannya dalam karya berjudul ”Nomophobia”.
Frans Sartono menuturkan, para seniman mempunyai persepsi berbeda dalam memandang persoalan informasi. Orang yang lahir sebelum zaman telepon pintar, misalnya, bisa melihat dengan kritis problematika ketergantungan manusia terhadap teknologi itu.
”Handphone bagaikan diktator komunikasi yang bisa mengendalikan emosi, pikiran, dan lainnya. Jadi, seolah manusia tidak bisa hidup tanpa handphone,” katanya.