Paduan harmonis antara gamelan Jawa dan musik keroncong menciptakan suasana dramatis dalam pertunjukan ‘CongYang’ di Bentara Budaya Jakarta, Jumat malam (30/08/2024).
'CongYang' adalah sebuah seni pertunjukan yang menggabungkan keunikan musik keroncong (Cong) dengan seni wayang orang (Yang).
Dalam acara ini, cerita "Cupu Manik Astagina," yang diadaptasi dari novel "Anak Bajang Menggiring Angin" karya Sindhunata, menjadi pilihan tema.
Dua maestro musik, Dedek Wahyudi dan Joko Priyono alias Koko Thole, bertindak sebagai penata musik yang berhasil membawa kesuksesan acara ini.
"Musik dalam pertunjukan ini berperan sebagai media yang menyampaikan maksud dari naskah yang dipentaskan".
"Ini adalah karya musik baru yang kreatif, memberikan kontribusi bagi perkembangan musik tradisional dan musik Indonesia," kata Dedek Wahyudi sebelum pertunjukan dimulai.
Dedek Wahyudi, yang telah berpengalaman lebih dari 25 tahun sebagai komponis, banyak menciptakan musik untuk berbagai seni pertunjukan seperti tari, teater, wayang, dan film.
Ia aktif dalam berbagai acara musik tradisional dan kontemporer, baik di dalam negeri maupun internasional.
Dedek tidak hanya melihat musik sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan tentang kehidupan manusia dan kebudayaan.
Sementara itu, Koko Thole mengungkapkan rasa syukur dapat merealisasikan keinginannya untuk mementaskan 'CongYang,' seni pertunjukan yang menggabungkan keroncong dan wayang orang.
"'CongYang' berhasil menciptakan jembatan antara tradisi dan modernitas, serta antara generasi tua dan muda. Kolaborasi seperti ini penting untuk menjaga seni dan budaya tetap hidup dan relevan di masa depan," ujar Koko Thole, seorang musisi dan pencipta lagu yang terkenal di jalur musik keroncong.
Koko Thole yakin musik keroncong akan terus berkembang seiring zaman.
Bersama komunitasnya, ia terus berupaya membangun sinergi agar kesenian tradisional nusantara tetap bertahan dan bisa dikenal di mancanegara.
"Saya bersyukur musik keroncong semakin berkembang. Musik ini fleksibel dan dapat berkolaborasi dengan berbagai jenis musik lainnya".
"Sebagai musisi saat ini, kita tidak hanya harus kreatif tetapi juga adaptif," ujar Koko Thole, yang telah menciptakan puluhan lagu campursari.
Meski sering dianggap sebagai musik orang tua dengan irama yang cenderung lambat, di tangan Koko Thole, musik keroncong diubah menjadi lebih menarik bagi generasi muda tanpa meninggalkan ciri khasnya.
Seperti Dedek Wahyudi, karya-karya Koko Thole juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dan filosofi Jawa yang ia anut.
Lirik lagunya seringkali menyampaikan pesan moral tentang kehidupan manusia.
Dedek Wahyudi dan Koko Thole menunjukkan keahlian mereka dalam menciptakan suasana dramatis melalui musik, pola ritmis, tempo, dan ekspresi, yang mendukung aktor, aktris, penari, dan penyanyi untuk mengeksplorasi peran mereka secara maksimal.
Pertunjukan "CongYang" ini menampilkan beberapa pemain wayang orang senior, termasuk Dewi Sulastri (Pemain Wanita Terbaik Festival Wayang Orang Panggung), Agus Prasetyo (Bintang Wayang Orang Sriwedari Surakarta), dan Ali Marsudi (Pemain Primadona Teater Tradisi RRI Surakarta).
Beberapa pemain lain yang turut tampil di antaranya Irwan Riyadi, Trikadar, Ninok Leksono (Redaktur Senior Kompas dan Rektor Universitas Multi Media Nusantara), dan Tri Agung Kristanto (Wakil Pemimpin Redaksi Kompas).
Pertunjukan ini juga dimeriahkan oleh penyanyi keroncong seperti Yurita Badrun dan Amrih Basuki, serta seniman muda seperti Paramita Putri Nirmala, Sabela Erifah Putri, Ganeshauman Taqwa, dan Fediano Hammam Akhyar.
Pergelaran ini dikemas secara musikal dengan dukungan tim produksi dan kreatif seperti Suryandoro, Koko Thole, Dedek Wahyudi, Iwan Gardiawan, Freddy Kamto, Eddie Karsito, Guru Milang, Irwan Riyadi, serta para penari dari Swargaloka School of Dance dan Omah Wulangreh.
"CongYang," yang mengangkat cerita "Cupu Manik Astagina," diproduksi oleh Swargaloka Foundation dan Orkes Keroncong Pesona Jiwa, serta didukung oleh berbagai lembaga donor yang memiliki komitmen terhadap seni dan budaya tradisional.
CEO Swargaloka, Suryandoro, menjelaskan bahwa 'CongYang' adalah inovasi dalam pertunjukan wayang orang, yang memadukan elemen-elemen baru dalam musik, cerita, dan pertunjukan.
"Melalui pertunjukan ini, kami berharap dapat memberikan kontribusi kreatif dan membangun solidaritas kultural, menciptakan karya seni yang relevan dengan perkembangan zaman," ungkap Suryandoro.
'CongYang' adalah hasil kreatif yang berkembang dari "Drayang" (Drama Wayang), sebuah konsep yang diusung Swargaloka Foundation sejak 1997, yang bertujuan menyajikan pertunjukan yang mendidik dan menarik bagi generasi muda.
"Sebagai seniman, kami tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk melestarikan seni tradisional, tetapi juga untuk mengembangkannya agar tetap relevan dengan perkembangan zaman," lanjut Suryandoro.
Menurut Suryandoro, konsep “Drayang” adalah kombinasi antara "drama modern" dan "seni wayang," menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan elemen-elemen modern. "Interaksi antara seni tradisional dan modern ini diharapkan menjadi perpaduan yang saling melengkapi, serta profesional dan relevan," tutup Suryandoro, lulusan Program Studi Komposisi Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. (Didang)