admin krjogja - Rabu, 29 Mei 2024 | 22:35 WIB
KETIKA menyaksikan pameran cover buku novel berbahasa Jawa modern bertajuk 'Nyambung Katresnan' bisa mendapat wawasan karya sastra Jawa langka era tahun 1950-1970-an berkembang menggembirakan.Bahkan bermunculan pengarang sastra yang menulis buku novel bahasa Jawa, geguritan, cerita cekak, cerita bersambung yang dimuat Majalah Basa Jawa diantaranya Djaka Lodhang, Mekar Sari, Penjebar Semangat dan Jajabaja. Pameran yang dikuratori oleh Hermanu tersebut, digelar di Bentara Budaya Yogyakarta Jalan Suroto 2, Kotabaru Yogyakarta berlangsung sejak (21/5) hingga Selasa (28/5) malam. Pameran menampilkan pameran cover buku novel berbahasa Jawa, juga menampilkan cerkak, reportase pementasan teater berbahasa Jawa.
Cover buku novel berbahasa Jawa yang dipajang diantaranya 'Gerombolan Gagak Asmara' 'Neng Artati', 'Kembang Katresnan' pengarang Any Asmara, 'Tretes Tintrim' karya Suparto Broto, cover Teguh Santosa dan karya sastra Jawa lainnya.
Hermanu menyebutkan, bahwa kita semakin kehilangan bahasa Jawa, walau ada fenomena seakan berbalik lagi dengan lagu-lagu campursari dan pop Jawa, namun bahasa Jawa belum mendapat posisinya lagi sebagai bahasa sastra yang utama. Itulah tantangan yang dihadapi Bahasa Jawa.
Karya sastra Jawa ejaan lama jarang mendapat perhatian lembaga seni. Karena itu, Bentara Budaya Yogyakarta, berupaya menggali kembali keberadaannya menggelar pameran Cover buku novel bahasa Jawa. Menurut Dr Subalidinata sekitar 300 judul novel dalam bahasa Jawa dan ratusan Cerita Cekak serta Cerita Bersambung yang dimuat di Majalah-majalah seperti Penjebar Semangat, Jayabaya, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan lain-lainnya.
Itu semua ditulis oleh para pengarang dalam tahun1950-1972. "Pameran cover buku novel Jawa modern ini, membatasi terbitan sampai tahun 1972, agar tidak terlalu melebar, sampai diberlakukannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)," papar Hermanu.
Dalam pameran ini, lanjut Hermanu, lebih fokus berkait soal seni cover buku sastra Jawa. Ada sekitar 89 cover buku sastra Jawa ini yang dipamerkan. Ada nama-nama ilustrator terkenal antara lain Kwik Ing Hoo, Jono S Wijono, Kentardjo, Wid NS dan puluhan ilustrator lainnya.
Karya-karya ilustrasi cover buku Sastra Jawa ini, sepintas soal warna pada cover-cover novel ini senada, yaitu cenderung warna kuning kemerahan, dan itu menjadi ciri khas di era itu. "Hal tersebut bisa jadi karena teknik percetakan saat itu yang masih kuna. Sehingga, hasilnya senada," imbuh Hermanu.
Dikatakan Hermanu, pameran. mengambil dari judul 'Njambung Katresnan' karena buku novel Jawa mayoritas berbicara mengenai soal Katresnan atau asmara. Ada berbagai versi tentang asmara ini, mulai cinta segitiga, kawin muda, patah hati, dan berbagai model percintaan.
Memang ada tema perjuangan, kepahlawanan, magis dan lainnya, namun jumlahnya hanya sedikit. Bentuk dan ukuran buku novel Jawa ini rata-rata seukuran buku saku, namun kertasnya tipis. Dulu pada waktu booming banyak dijajakan di terminal bus, dan pasar-pasar, di persewaan buku bacaan.
"Sangat disayangkan buku-buku semacam itu, tidak dikoleksi oleh perpustakaan-perpustakaan baik negeri maupun swasta, karena dianggap remeh dan cenderung porno. Pada hal itulah realita saat itu," tuturnya.
Hermanu mengungkapkan, ide pameran ini diperoleh dari buku terbitan Javanologi yang memuat tulisan Dr Subalidinata yang meneliti tentang Sastra Jawa. Kemudian dikembangkan dengan menambah data-data dari teman pecinta sastra Jawa, antaralain Ibnuwibi alias Benoe Oemboel domisili Yogya dan Ari Headbang dari Surakarta.
Selain itu, dipamerkan juga buku aseli novel tersebut, dan puluhan majalah berbahasa Jawa yang memuat tentang cerita pendek dan bersambung serta buku-buku Sastra Jawa lainnya.
Ternyata untuk mendapatkan buku-buku novel sastra Jawa ini sangat kesulitan. Maklum sudah 50 tahun yang lalu terbitnya. Kalaupun ada kondisinya sudah tidak utuh lagi. Karena itu, salut memberi apresiasi tinggi kepada dua kolektor buku Sastra Jawa yang ikut berpartisipasi dalam pameran ini.
"Semoga pameran ini dapat menambah wawasan kita tentang Sastra Jawa," pungkasnya. (Khocil Birawa).