Galuh Taji Malela menjelaskan makna lukisannya yang berjudul "Behind the Scene of Imlek" pada pembukaan pameran seni rupa di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/2/2024) malam. Pameran dalam rangka memeriahkan Imlek ini berlangsung hingga 29 Februari 2024.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Galuh Taji Malela menjelaskan makna lukisannya yang berjudul "Behind the Scene of Imlek" pada pembukaan pameran seni rupa di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/2/2024) malam. Pameran dalam rangka memeriahkan Imlek ini berlangsung hingga 29 Februari 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Sejak berabad-abad lalu, bangsa Tionghoa telah hadir dan berinteraksi dengan bangsa-bangsa di Nusantara. Kebersamaan dalam ruang kehidupan juga melahirkan dialog kultural. Sebanyak 11 seniman dari berbagai latar belakang mengekspresikan kebersamaan itu lewat beragam estetika visual.
Lukisan yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta itu menunjukkan bermacam pilihan estetika visual. Dalam berkarya, setiap seniman memilih topik, obyek, gaya, dan sentuhan berbeda. Pameran bertajuk ”Merayakan Kebersamaan” tersebut digagas dalam momentum Imlek yang dirayakan pada 10 Februari lalu.
Kurator pameran, Frans Sartono, mengatakan, dalam perayaan Imlek terdapat pertemuan keluarga, handai tolan, dan tetangga. ”Kami para kurator di Bentara Budaya menarik kebersamaan itu dalam dimensi lebih jauh, yaitu kebersamaan kita sebagai bangsa yang sangat majemuk,” ujarnya dalam pembukaan pameran itu, Kamis (22/2/2024) malam.
Ke-11 seniman yang berpameran adalah AC Andre Tanama, Fatih Jagad Raya Aslami, Galuh Taji Malela, Hanny Widjaja, Nisan Kristiyanto, Putu Sutawijaya, Sarnadi Adam, Sidik W Martowidjojo, Syakieb Sungkar, Teguh Ostenrik, dan Vy Patiah. Mereka berasal dari beragam latar belakang, etnik, usia, dan gaya berekspresi. Pameran dibuka oleh aktris Olga Lydia.
Pengunjung menyaksikan lukisan dalam pameran seni rupa yang mengangkat tema "Merayakan Kebersamaan" di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/2/2024) malam. Pameran dalam rangka memeriahkan Imlek ini diikuti oleh 11 seniman.
Pameran berlangsung hingga 29 Februari mendatang. Selain pameran, juga akan digelar workshop atau lokakarya Bentara Muda ”Cetak Cyanotype di Atas Kertas”, Sabtu pukul 14.00-17.00.
Menurut Frans, karya-karya dalam pameran tersebut seperti catatan hasil pergaulan budaya. Di dalamnya ada dialog kultural dan tawar-menawar gagasan. Para seniman juga mencatat sejarah serta harapan akan pentingnya hidup bersama-sama di ruang yang guyub dan terbuka.
Harmoni pergaulan budaya itu digambarkan perupa Hanny Widjaja lewat lukisannya berjudul ”Seiring Sejalan”. Lukisan ini menggambarkan dua sosok perempuan yang sedang berjalan sambil bergandengan tangan.
Upaya seiring sejalan dicontohkan Hanny melalui lukisan lainnya berjudul ”Peranakan” yang menggambarkan perempuan dewasa mengenakan kebaya. ”Bagaimana kebaya yang dikenal sebagai busana nasional itu lahir dari dialog antarbudaya. Begitu juga dengan tari topeng Cirebon,” ucapnya.
Karya-karya dalam pameran tersebut seperti catatan hasil pergaulan budaya. Di dalamnya ada dialog kultural dan tawar-menawar gagasan. Para seniman juga mencatat sejarah serta harapan akan pentingnya hidup bersama-sama di ruang yang guyub dan terbuka.
Frans menambahkan, semangat kebersamaan sebenarnya sudah tumbuh berabad-abad silam, jauh sebelum nama Indonesia muncul. Ada ruang di mana masyarakat dari berbagai latar belakang kultural tumbuh bersama. Di ruang itu tumbuh pergaulan budaya.
Menyembunyikan ekspresi kebudayaan
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri menyebutkan, warga keturunan Tionghoa cukup lama mengalami diskriminasi. Di masa Orde Baru, misalnya, warga keturunan Tionghoa dipaksa menyembunyikan ekspresi kebudayaan leluhurnya. Hanya sebagian kecil elite komunitas ini, terutama konglomerat, yang memperoleh keistimewaan.
Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa. Ada juga Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/1967 yang mengharuskan masyarakat keturunan Tionghoa mengubah nama China-nya menjadi nama Indonesia.
Pengunjung menyaksikan lukisan dalam pameran seni rupa yang mengangkat tema "Merayakan Kebersamaan" di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/2/2024) malam.
Barulah pada saat KH Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, menjadi presiden, Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dicabut. Gus Dur kemudian menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mengizinkan perayaan Imlek. Bahkan, tahun baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur fakultatif yang berlaku bagi mereka yang merayakannya. Pada 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri resmi menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.
”Pameran ini momentum merayakan kembali kebebasan yang diberikan kepada warga Tionghoa sebagai bagian dari bangsa yang sama-sama punya hak sederajat dan bebas mengekspresikan adat-istiadat dan budayanya, termasuk Imlek,” jelasnya.
Peran sentral Gus Dur mengizinkan perayaan Imlek diekspresikan perupa Galuh Taji Malela dalam lukisan berjudul ”Behind the Scene of Imlek”. Lukisan ini menggambarkan sosok Gus Dur dalam bayang-bayang liong atau naga dan kerlap lampion.
Tamu undangan menyaksikan lukisan karya seniman Galuh Taji Malela yang berjudul "Behind the Scene of Imlek" pada pembukaan pameran seni rupa di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/2/2024) malam.
Menurut Galuh, Gus Dur merupakan sosok yang membuka jalan sehingga ekspresi budaya orang Tionghoa, termasuk Imlek, dapat dirayakan setelah sekian lama dilarang. Keikutsertaannya dalam pameran ini menjadi kesempatan untuk merayakan keberagaman Indonesia.
”Jika tidak melalui estetika visual, dengan apa lagi kami bisa mengangkat kebersamaan yang memang patut kita rayakan. Ini sekaligus kesempatan bagi saya untuk menampilkan karya tentang apa yang ada di balik sejarah Imlek,” ucapnya.