TRIBUNJOGJA.COM - Pameran foto karya para Pewarta Foto Indonesia (PFI) Yogyakarta resmi dibuka di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada Senin (6/12/2021). Ada 144 karya foto dari 44 fotografer yang ditampilkan dalam pameran bertajuk 'Pageblug' ini. Masing-masing karya itu mempunyai cerita, tentang harapan, optimisme, bahkan keputusasaan dan juga kegetiran dalam suasana pandemi covid-19.
Satu di antaranya adalah karya pewarta foto Guntur Aga Tirtana. Ia menangkap momen kondisi para pedagang di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Pada saat itu, pasar ini baru saja dibuka, setelah ditutup selama tiga hari, pada 17 Juni 2020 lalu.
Dalam foto tersebut, terlihat seorang pria berusia lanjut yang sedang duduk di kursi berlatar belakang deretan los pedagang.
Pria itu duduk lesu dengan sorot mata layu. Sementara dirinya mengenakan masker bergambar senyuman. Kondisi pasar saat itu memang sangat jauh berbeda dari kondisi hari-hari biasa, atau ketika sebelum pandemi. Pasar Kranggan benar-benar 'mati'. Tidak ada orang lalu lalang, dan berhenti dari los ke los. Hanya ada beberapa orang saja termasuk para pedagang yang menunggu pembeli yang tak kunjung datang.
"Mereka seperti baik-baik saja, tapi di dalam mungkin mereka juga menangis," kata Guntur, ditemui saat acara pembukaan pameran.
Lewat foto tersebut, Guntur ingin bercerita bahwa pandemi covid-19 benar-benar memukul kehidupan masyarakat, utamanya di kalangan bawah.
Roda perekonomian benar-benar terhenti, padahal kebutuhan sehari-hari harus terus dicukupi. Pada saat yang sama, mereka juga khawatir dan takut terpapar covid-19.
Para pedagang itu pun nyaris saja 'menyerah' namun mereka masih menaruh harapan agar pandemi ini bisa segera berakhir. Sehingga dengan begitu, mereka bisa bangkit kembali untuk menjemput rezeki.
"Dari foto itu ada makna lain bahwa kita harus tetap tersenyum, masih harus tetap optimis, dan semangat meskipun di tengah kondisi yang serba tidak menguntungkan," tandasnya.
Adapun, kondisi serupa tidak hanya dirasakan oleh para pedagang, seperti yang terlihat dalam foto itu. Namun dirasakan pula oleh para pewarta foto. Guntur sendiri merasakannya. Ada perasaan takut dan khawatir ketika ia harus menjalankan aktivitas sehari-hari. Bagaimana tidak, ada dua tanggung jawab yang harus ia tuntaskan.
Di satu sisi, ia memikul tanggung jawab sebagai seorang jurnalis foto, sementara di sisi lain ia juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki anak dan istri di rumah.
"Saya harus tetap menjalankan aktivitas sebagai jurnalis, dan di sisi lain saya juga harus memastikan keamanan keluarga saya di rumah. Oleh sebab itu, saya benar-benar mengaplikasikan protokol kesehatan, untuk memastikan saya bersih ketika pulang ke rumah," tandasnya.
Sebagaimana para pewarta foto lainnya, Guntur juga berharap agar pandemi ini bisa segera berakhir. Salah satu caranya yakni dengan menggelar pameran foto bertajuk 'Pageblug' untuk mengingatkan masyarakat mengenai bahaya covid-19 dan mengingatkan betapa pentingnya menerapkan protokol kesehatan.
Senada, Ketua Panitia Pameran Foto PFI Yogyakarta, Oka Hamid juga mengatakan bahwa pameran foto ini dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa Indonesia pernah berada pada fase sulit akibat pandemi covid-19.
"Ini sebagai refleksi dan pengingat bahwa pernah ada pandemi yang mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat," katanya.
Lewat karya-karya foto itu, masyarakat dapat menangkap energi bahwa ada optimisme bangkit dari pageblug, namun ada juga kisah-kisah pedih dan getir mengenai mereka yang berusaha tetap survive di tengah situasi yang tak menentu.
Yang sangat menarik perhatian, bahwa pandemi ini juga memicu lahirnya gerakan solideritas warga, gotong royong untuk membantu sesama. Seperti yang tersaji dalam foto tentang 'Chantelan'. Yaitu gerakan warga yang secara sukarela menggantungkan sayuran dan bahan makanan lainnya di pagar-pagar rumah untuk membantu mereka yang kesusahan.
'Pageblug membuat ikatan warga semakin kuat, dengan munculnya gerakan solideritas, saling menjaga tetangga,' tandasnya.
Tentang Pageblug
Pagebluk adalah nama lain dari wabah, sebuah penyakit yang menyebar luas di masyarakat. Sementara itu bagi masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah, istileh Pageblug erat kaitannya dengan wabah penyakit pes atau sampar, yang disebut-sebut sebagai wabah paling menakutkan.
Kasus kedua adalah munculnya penyakit cacar. Pada waktu itu, orang yang terkena wabah cacar menderita kerusakan pada bagian kulit semisal bopeng-bopeng yang tak bisa hilang selamanya.
Wabah pes sendiri terjadi pada kurun waktu 1911 - 1920an. Penyakit ini menyebar di Pulau Jawa. Dalam Historia disebutkan bahwa wabah Pes muncul dari beras impor asal Burma yang dibeli pemerintah Hindia Belanda namun saat pengapalan tertular bakteri dari tikus-tikus yang ada dalam kapal.
Wabah itu pun cepat menyebar ke berbagai daerah.
Dalam beberapa mitos dan cerita lisan, diceritakan pada waktu itu Pulau Jawa menjadi episentrum wabah pes yang mengakibatkan ribuah orang meninggal dunia.
Disebutkan pula jika ada yang sakit pada pagi hari, maka ia dipastikan akan meninggal pada sore atau malam harinya. Esuk Lara Sore Mati, demikian kalimat yang dipakai dalam Majalah Djaka Lodang tahun 1980an.
Istilah pageblug ini lah yang kemudian dilekatkan pada peristiwa munculnya pandemi covid-19. Sebuah wabah yang menyebar ke seluruh dunia hingga meruntuhkan sendi-sendi kehidupan.
Namun kini, masyarakat perlahan-lahan mulai kembali bangkit. Roda perekonomian juga sudah berputar. Berbagai aktivitas kemasyarakatan sudah kembali berjalan. Akan tetapi, semua elemen masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan lantaran pandemi ini belum benar-benar berakhir. (MON)
Energi-energi itu adalah salah satu yang ingin dibagikan lewat karya-karya foto tersebut.
Sehingga bisa menginspirasi, mengingatkan, sekaligus menjadi bagian dari dokumentasi catatan sejarah di masa mendatang.