Pameran Seni Rupa
“KISAH DARI PALMERAH”
Pembukaan Pameran: Rabu, 29 Oktober 2025, pukul 16.00 WIB
Pameran berlangsung: 30 Oktober – 8 November 2025, pukul 10.00-18.00 WIB
Rangkaian Acara
1. Workshop Komik Strip Bareng, Jumat, 31 Oktober 2025, pukul 15.00 WIB
2. Gambar Bareng Seniman KG, Sabtu, 8 November 2025, pukul 10.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta 10270
Kurator: Frans Sartono & Efix Mulyadi
Peserta pameran: Achirudin (Aries) Tanjung, Adinto F. Susanto, Agus Salim, Agus Sutedja, Alf. Yogi S., Barlin Srikaton, Bima M., Bowo Budi Setyo, Candra Rakhmasari, Coosmas Y, Damianus Sunu Wibowo, Darmoro S., Didie S., Febrina Tiara R.D, Firdaus Husaini, Harifin Rustanto, Hari Budiono, Helman Taofani, Hermanu, Hery Gaos, Hilmi Faiq, Ignatius Purnama Adi, Ika W. Burhan, Ilham Khoiri, Jitet Koestana, Keliek D K, M. Hady Santoso, Muhammad Nasir, Mujio, Nana Wildiana, Nawa Tunggal, Nunk, Pandu L.P, Patar Butarbutar, Putu Fajar Arcana, QBro Pandamprana, Rahardi Handining, Rachmat Riyadi, Rianto Karman, Rully Susanto, S. Suryolelono, Steve Clement, Supriyanto, Susi Liu, Thomdean, TR Setyanto Riyadi, Wandi S. Brata, Wedha Abdul Rasyid, Wiediantoro, Yogi Wistyo.
“Kisah dari Palmerah”
Pameran bertajuk Kisah dari Palmerah ini digelar untuk merayakan 60 tahun Harian Kompas yang jatuh pada 28 Juni 2025. Sekaligus juga untuk merayakan usia kelompok Kompas Gramedia (KG) yang tahun ini genap berusia 62 tahun.
Nama Palmerah disebut dalam tajuk pameran karena wilayah di Jakarta Pusat tersebut merupakan tempat berkarya ribuan karyawan dari berbagai media massa terbitan KG. Redaksi Harian Kompas berkantor di Palmerah, dan Menara Kompas juga menjulang di sana. Palmerah juga mewakili ruang kerja lain dari penerbitan di dalam lingkungan KG.
Sejak lebih 60 tahun silam, di sana pernah ada lebih dari 100 usaha penerbitan media massa cetak. Produk tersebut kemudian beredar di berbagai pelosok negeri. Kabar, berita, cerita, kisah dari Palmerah itu dibaca warga segala usia dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, dari berlapis generasi pula. Tersebutlah, antara lain, Majalah Intisari, Midi, HAI, Kawanku, Bobo, Jakarta Jakarta, Tiara, dan Senang; Tabloid Bola, Citra, Nova, dan lainnya.
Palmerah, bukan hanya sekadar kantor tempat kerja. Palmerah, juga bisa dikatakan sebagai “sanggar”. Mengapa? Karena di balik usaha penerbitan media massa tersebut terlibat kerja kesenirupaan. Di sana ada aktivitas para penata letak, desainer grafis, illustrator, kartunis, karikaturis, dan berbagai aktivitas terkait jagat kesenirupaan.
Dari olah kesenirupaan tersebut lahirlah sosok seperti Om Pasikom karya GM Sudarta (1945-2018). Muncul pula figur Pailul, Ni Woro Ciblon, Diah Woro Gembili dari kartun Panji Koming karya Dwi Koen (Dwi Koendoro Brotoatmodjo, 1941-2019). Pailul dan kawan-kawan hadir di Harian Kompas edisi Minggu. Hadir pula tokoh komik Tomat dalam kartun Timun karya Rachmat Riyadi di Harian Kompas edisi Minggu. Dari majalah remaja HAI era 1970an lahir sosok Imung, dan Lupus karya Wedha. Pada era 1990-an hadir sosok Si Gundul dalam kartun di Tabloid Bola karya Hanung “Nunk” Nugroho.
Pameran ini mengajak para karyawan KG, baik yang sudah purna tugas maupun masih aktif untuk berunjuk-karya. Ada karya mereka yang sebenarnya sudah beredar dan dikenali publik, terutama para pembaca media massa terbitan KG. Pada pameran ini, kita akan dapat mencermati karya mereka sebagai seniman. Ada yang pernah bekerja selama lebih 30 tahun, ada yang “baru” beberapa tahun. Ada yang tercatat sebagai karyawan yang bidang kerjanya berada di ranah kesenirupaan. Ada pula karyawan yang tugas pokoknya tidak terkait langsung dengan ranah kesenirupaan seperti jurnalis, editor di penerbitan, atau bidang tugas lain.
Ketika para karyawan tersebut secara “administratif” resmi purna karya, ternyata mereka belum pensiun sebagai seniman. Begitu pula yang masih aktif, tetap menekuni seni rupa sebagai “dunia lain”. Para seniman KG itu kita ajak merayakan 60 tahun Harian Kompas dan KG, yang menjadi tema utama pameran. Mereka juga membuat karya di luar tema tersebut. Kita ingin mereka hadir sebagai seniman, bukan lagi sebagai karyawan yang bekerja di belakang meja.
Frans Sartono & Efix Mulyadi
Kurator Bentara Budaya