Timbang Pandang:
KOLEKSI, KURASI, DAN EKOSISTEM SENI
Narasumber: Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, M.S. (Akademisi, budayawan, dan kolektor seni, penulis Teori tentang Simbol dan Makro Humaniora) & Dewa Putu Sahadewa (Dokter, Penyair, Founder Dedari Art Institute)
Tanggal: Sabtu, 25 Agustus 2025, pukul 19.00 – 21.00 WITA
Tempat: Gedung KG Ketewel, Gianyar
Timbang Pandang kali ini merupakan bagian dari program lanjutan Bali Art Lounge #2: Pradnyana Purusottama – Transcending the Past, Present, and the Future, sebuah pameran lintas generasi yang menyoroti dinamika seni rupa Bali modern dan kontemporer. Diskusi akan menelusuri perjalanan panjang dunia koleksi seni rupa—dari masa ketika karya seni dipandang sebagai lambang status dan spiritualitas, hingga era kontemporer ketika koleksi menjadi bagian dari wacana pengetahuan, pasar, dan kebudayaan global. Kolektor bukanlah pemilik pasif, melainkan penjaga nilai dan penggerak ekosistem seni. Melalui keberpihakan mereka terhadap karya dan seniman, kolektor membantu menciptakan ruang bagi dialog lintas budaya dan lintas generasi, menjaga kesinambungan antara proses penciptaan dan ruang apresiasi publik.
Pada sisi lain, peran seniman menjadi tak terpisahkan dari dinamika tersebut. Pameran Bali Art Lounge #2 menegaskan pentingnya capaian kebaruan stilistika-estetika, serta penggalian tema-tema yang relevan dengan kekinian. Para seniman tidak hanya menghadirkan bentuk visual yang baru, tetapi juga mengajukan cara pandang baru terhadap realitas sosial, spiritual, dan kultural yang terus bergerak. Di titik inilah peran kurator dan kolektor bersinggungan—menyemai tafsir, nilai, dan keberlanjutan makna dalam ekosistem seni.
Dalam sejarah seni dunia, nama-nama seperti Peggy Guggenheim, Charles Saatchi, Agnes Gund, dan Uli Sigg memperlihatkan bagaimana koleksi pribadi dapat membentuk arah perkembangan seni modern dan kontemporer, sekaligus memperluas horizon apresiasi publik. Mereka membuktikan bahwa koleksi seni dapat menjadi kekuatan sosial—bukan sekadar kumpulan objek estetis, melainkan jaringan makna yang memengaruhi cara masyarakat memahami nilai, identitas, dan zaman.
Dalam konteks lebih luas, relasi antara kolektor, kurator, dan seniman menjadi fondasi bagi terbentuknya ekosistem seni rupa yang sehat dan produktif. Kurator menafsirkan dan memediasi makna karya; kolektor menjaga keberlanjutan dan nilai simbolik; sementara seniman memperbarui horizon estetika dan kesadaran manusia. Ketiganya berinteraksi dalam medan simbolik yang membentuk kebudayaan—sebagaimana dirumuskan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna dalam Teori tentang Simbol—bahwa simbol dan seni bukan sekadar bentuk, melainkan cara manusia menata dunia dan menafsirkan keberadaannya.
Selain menjadi ruang refleksi atas ekosistem seni, Timbang Pandang kali ini juga dimaksudkan untuk memaknai kehadiran buku Prof. Dr. I.B. Yudha Triguna, Teori tentang Simbol dan Makro Humaniora, yang memperluas horizon pemikirannya tentang hubungan antara kebudayaan, kemanusiaan, dan simbol, sekaligus mempertegas pandangan bahwa seni adalah jalan dharma—jalan untuk memperhalus buddhi dan menuntun manusia menuju kebijaksanaan (pradnyana). Timbang Pandang ini mengajak publik untuk memahami bahwa seni rupa bukan hanya ruang ekspresi individual, tetapi juga sistem nilai yang saling menghidupi. Dalam jaring koleksi, kurasi, dan penciptaan, seni senantiasa menuntun manusia untuk menemukan harmoni baru antara rasa, nalar, dan makna kebudayaan.
Profil Narasumber
Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, M.S. merupakan Guru Besar Sosiologi Agama di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar sekaligus Rektor UNHI periode 2006–2014. Ia menggagas Utasawa Bali Sani, ajang tahunan yang mempertemukan tari dan tabuh, sekaligus melahirkan gagasan pendirian Fakultas Seni. Sebagai bentuk penguatan identitas dan solidaritas umat, Prof. Yudha Triguna meluncurkan Festival Seni Budaya Keagamaan dan Jambore Pasraman Hindu nasional sejak 2010, serta mendirikan Badan Penyiaran Hindu (BPH). Di bidang akademik, ia menulis karya penting seperti Makro Humaniora, Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban, dan Meneroka Teori Kritis: Dari Filsafat Marxisme hingga Teori Rasial, yang menegaskan perannya sebagai pemikir kebudayaan dan keagamaan lintas disiplin.
Sebagai kolektor, ia merawat karya para maestro Bali—lukisan, topeng, dan tapel—bukan sebagai benda mati, melainkan penanda spiritualitas dan persahabatan. Dari pergaulan dengan seniman seperti I Made Surita, Wiradana, hingga Sukari, ia menegaskan bahwa seni adalah jembatan hati, bukan transaksi. Prof. Yudha Triguna menegaskan satu keyakinan: seni dan kebudayaan adalah jalan menuju kebijaksanaan, pertemuan antara rasa, pengetahuan, dan dharma.
Dewa Putu Sahadewa, lahir di Denpasar, 23 Februari 1969. Selain dikenal sebagai dokter ahli kandungan, ia juga seorang penyair. Sejak remaja, ia telah aktif bermain teater dan menulis puisi, terutama di Bali Post Minggu asuhan Umbu Landu Paranggi. Puisi-puisinya juga dimuat di Jurnal Cak, Majalah Humor, Pos Kupang, dan Nusa Bali. Beberapa kali ia juga memenangkan lomba penulisan puisi, baca puisi, dan teater. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit adalah 69 Puisi di Rumah Dedari, Penulis Mantra, Gajah Mina, dan Siwanggama. Sejumlah puisinya juga terangkum dalam buku bersama, antara lain Saron, Semesta Jiwa, Tutur Batur, Sayur Mayur, Ayahku Sayang, Ibuku Sayang, Ibunda Tercinta, BlengBong, Peladang Kata. Mengikuti berbagai kegiatan sastra nasional dan internasional. Menjadi juri, kurator dan editor buku. Selain sebagai penyair, ia mendirikan dan membina beberapa komunitas sastra, antara lain Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Puisi Dedari (virtual-Kupang). Ia juga menjadi anggota komunitas sastra Lumbung Puisi Nusantara, Apresiasi Sastra (Apsas), Puisi Menolak Korupsi, Dusun Flobamora. Pada masa remaja, ia aktif di Sanggar Sastra Cipta Budaya SMP I Denpasar, Teater Angin SMA 1 Denpasar, Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Hippokrates FK Unud. Atas dedikasinya di bidang sastra, ia dianugerahi Bali Jani Nugraha oleh Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2021.