Pameran Seni Rupa
JINGUK’I
Pembukaan: Jumat, 26 September 2025, pukul 19.00 WIB
Dimeriahkan: Orkes Keroncong Rindoe Order
Pameran Berlangsung: 27 September 2025 - 4 Oktober 2025, Pukul 10.00-21.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Yogyakarta, Jl. Suroto no 2, Kotabaru
Tiap-tiap wilayah punya ekspresi kelisanan yang diungkapkan dalam gaya tutur masyarakatnya. Di Pulau Jawa sendiri sering terdengar istilah-istilah seperti getak ala Semarang, glembuk Jogja, dan umuk Solo untuk menerangkan ciri unik dari ekspresi kelisanan tersebut, yang bukan hanya sebagai gaya komunikasi melainkan juga semacam cara untuk menyampaikan maksud dan tujuan, baik secara tersirat maupun tidak tersirat.
Asal-usul getak, glembuk, dan umuk diduga sebagai tanggapan atau reaksi komunikasi elit Jawa ketika mereka dipaksa tunduk dan menerima kehadiran Kompeni Belanda. Seiring dengan waktu, pola komunikasi ini menebal menjadi ekspresi kelisanan yang seakan-akan mencerminkan watak warganya. Begitupun juga stereotip atas karakter tiap wilayah sepertinya jadi melekat: bahwa orang Semarang selalu menggertak (getak), orang Jogja pandai membujuk secara halus (glembuk), dan orang Solo cenderung ingin mempertahakankan harga diri dengan angkuh (umuk). Tentu saja, yang namanya stereotip seringkali bias makna, tidak mungkin mewakili keseluruhan sifat manusia yang hidup di kawasan itu, dan melekatkan citra miring bagi masyarakatnya.
Bila melihat dinamika zaman sekarang, kita melihat ekspresi kelisanan, gaya komunikasi, dan cara bertutur, kian intens dipakai untuk membidik maksud: si pendengar dikondisikan oleh bahasa agar melakukan apa yang diinginkan si penutur. Perkembangan tren audiovisual di dunia maya bahkan mempertontonkan secara gamblang bahwa bahasa bukan lagi hanya media komunikasi. Ia disederhanakan, dilebih-lebihkan, atau bahkan diplintir hanya untuk menggiring kita, tanpa peduli kalau ada sebagian makna dan kebenaran yang disembunyikan.
Kalau begini, nampaknya getak, glembuk, dan umuk sudah bukan lagi jadi ekspresi kelisanan suatu masyarakat tertentu: dia telah menjelma semacam siasat yang umum dilakukan. Kita bisa menambahkan satu ekspresi lagi, “Djantjoek!” ala Jawa Timuran untuk mengomentari betapa banyak dari siasat itu bikin kita geleng-geleng kepala.
Bentara Budaya tertarik untuk mengaitkan antara gaya tutur kedaerahan itu dalam ekspresi kesenian yang mewakili keresahan kita atas situasi terkini bangsa. Kami ingin mengajak para illustrator, komikus, pegrafis, atau siapapun yang tertarik merespons ekspresi bahasa ini dalam bentuk visual, yang akan dipamerkan seiring peringatan HUT ke-43 tahun Bentara Budaya pada bulan September. Kami memandang ini adalah salah satu cara kita bersama untuk mengungkapkan kepedulian atas negeri Indonesia dengan perspektif yang terbuka, segar, dan barangkali penuh humor nan satir.
Peserta Pameran:
AC Andre Tanama X Pastur John, Alit Ambara, Ampun Sutrisno, Angga Yuniar, Bambang Herras, Bayu Wardhana, Budi Ubrux, Budi Yonaf, Budiyana, Bunga Jeruk,
Dona Prawita Arissuta, Graphic Victims (Digie Sigit, Koztnotdeath, Huda Desember, Nanang HS, Simo, Teguh Hartanto, Wimbo Praharso), Gunawan Bonaventura, Hari Budiono, Hermanu, Ifat Futuh, Irwanto Lentho, Irwan Guntarto, Jasmine Amanda (Minék), Joko “Gundul” Sulistiono, Ledek Sukadi, Lily Elserisa, Mahdi Abdullah, Meuz Prast, Nasirun, Noto Digsono, Ridi Winarno, Samuel Indratma, Sigit Santoso, Sriyadi Srinthil, Susilo Budi, Taring Padi (Dodi Irwandi, Fitri DK), Terra Bajraghosa, Theresia Agustina Sitompul, Tindes Art (Ahnaf Wijoyo Kusumo, Annisa Dela Widhiastuti, Athallah Kenes Phalosa, Athalla Naufal Mauludi, Barunata, Candelin Gugelita, Farid, Indaka Zada Afdhal, Koskow, Laksmi Shitaresmi, Mustika Aldilla P, Renistiawati Tri Wahyudi, Sony Prasetyotomo, Wikan Paramayakti), Yuswantoro Adi.