Pameran Seni Rupa Komunikasih Vs Komunikacau dan Pentas Repertoar “Lakon Tragedi Tentang Otak yang Bermigrasi"
Pembukaan pameran dan pentas: Kamis, 26 September 2024,Pukul 18.00 WIB
Pameran berlangsung: 27 September - 28 Oktober 2024, Pukul 10.00 - 18.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Art Gallery
Komunikasih dan Komunikacau
Pameran kartun Komunikasih dan Komunikacau mengajak kita mengintip seperti apa dunia komuniaksi di masyarakat hari ini. Sebanyak 21 peserta menggambarkan situasi, kondisi, tabiat dan perilaku orang-orang dalam berkomunikasi; Mereka mencatat, bagaimana orang hidup dalam teknologi komunikasi yang kata orang semakin sakti, akan tetapi di sini lain dapat bikin orang sakit.
Dulu di masyarakat dikenal komunikasi tatap muka gethok tular: sekali berkabar, info akan tersebar. Tanpa teknologi apapun, hanya dari mulut ke mulut seluruh warga kampung akan menerima pesan. Kini ada gethok digital: sekali pencet tombol, seluruh dunia akan tersenggol. Informasi apa saja, dalam hitungan menit akan menyebar luas dan orang akan merespons, bereaksi.
Orang akan memuja, atau bisa jadi malah mencela. Orang akan menebar rasa benci, atau memaki-maki. Informasi akan berkembang, ditambahi, dikurangi, didandani, atau dibiarkan apa adanya. Ia akan seindah warna aslinya, atau lebih indah dari warna aslinya. Ia bisa mencerahkan , atau dapat pula menyesatkan.
Memang, perkembangan teknologi komunikasi di satu sisi menyuburkan proses demokratisasi. Akses yang kian mudah mendorong semua orang bisa berkomunikasi dengan siapa saja nyaris tanpa sekat kelas. Seorang Presiden bisa disapa rakyat jelata di pedalaman kampung lewat media sosial. Begitu sebaliknya. Pada titik ini, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan persepsi publik atas satu fenomena atau masalah.
Di sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi menumbuhkan produksi informasi yang demikian deras. Publik yang dulu mengonsumsi informasi, kini bisa memproduksi dan mengomsusinya dalam waktu bersamaan. Sayangnya, informasi yang diproduksi itu belum tentu terkurasi dengan baik. Belum tentu diproduksi dari sumber yang dapat dipercaya. Bahkan dalam level tertentu, banyak informasi yang memang diproduksi atas dasar ketidakjelasan untuk mengaburkan.
Yang terjadi kemudian, semakin banyak informasi tetapi publik makin bingung karena kian sulit membedakan antara informasi yang valid dan abal-abal. Disinformasi dan misinformasi datang seperti hujan deras sementara banyak orang belum sedia payung, tidak punya cukup daya dan pengetahuan untuk menyaringnya. Muncul komunikacau, komunikasi yang kacau balau. Itulah salah satu bentuk paradoks komunikasi di zaman kiwari.
Mohammad Hilmi Faiq
Frans Sartono
Kurator Bentara Budaya