Pameran Seni Rupa Pedalaman Blawong
"Soesoeh Angin"
๐ฃ๐ฒ๐บ๐ฏ๐๐ธ๐ฎ๐ฎ๐ป ๐ฃ๐ฎ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ป: Senin, 22 April 2024, pukul 16.00 WIB
๐ฃ๐ฎ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฟ๐น๐ฎ๐ป๐ด๐๐๐ป๐ด: 23 April - 3 Mei 2024, pukul 10.00 - 21.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Yogyakarta, Jl. Suroto No. 2 Kotabaru, Yogyakarta
"SOESOEH ANGIN"
Seni Rupa Tradisional Jawa mempunyai banyak jenis dan ragamnya, seperti wayang kulit, wayang golek, wayang klithik, wayang krucil, termasuk dalam undagi atau seni ukir dan masih banyak lagi lainnya. Kali ini kami ingin menampilkan seni rupa tradisi untuk tempat keris pusaka yang dinamakan Blawong, suatu seni rupa dari kayu jati untuk memajang keris.
Keris adalah salah satu senjata tajam tradisional Indonesia di samping pedang dan tombak. Dahulu keris dipakai sebagai senjata untuk berperang. Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian fungsi keris pelan-pelan mulai berubah menjadi piandel atau simbol kekuatan batin yang di Jawa dikenal dengan nama Tosan Aji atau besi yang bertuah. Saat ini cenderung dikeramatkan dan disimpan dengan berbagai cara, Setiap daerah mempunyai cara dan tradisi berbeda dalam merawat, memajang atau menyimpan keris.
Di Jawa kami melihat banyak daerah yang menghasilkan Blawong, kecuali daerah Vorstenlanden yaitu daerah bekas kerajaan Yogya dan Solo di jaman Belanda. Di dua wilayah ini keris diyakini sebagai benda pusaka yang keramat dan bertuah, maka harus disimpan dalam lemari khusus bernama kendaga dan ditempatkan dalam sentong atau kamar khusus untuk menyimpan benda benda pusaka. Di dalam Keraton, tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka bernama Praba Yaksa. Ada semacam anggapan di wilayah Mataram ini bahwa keris tidak boleh dipajang dan harus disimpan di tempat yang tidak bisa dilihat oleh tamu atau orang lain, karena takut tuah atau khasiat keris itu pudar karena โdiambilโ orang lain. Makanya harus disimpan dengan baik.
Ini berbeda dengan masyarakat di daerah Blora, Tuban, Bojonegoro, Ngawi, Madiun dan daerah - daerah Tapal Kuda di Jawa Timur, yang justru bangga dengan keris pusakanya. Keris ini mereka pajang dan dipamerkan di ruang tamu. Orang lain boleh melihat bahkan bertanya dan melihat keindahan keris berikut tempat kerisnya yang disebut blawong.
Dari sinilah cerita blawong atau tempat keris ini bermula, blawong dibuat dari papan kayu jati yang diukir serta dilukis dengan tema wayang kemudian dipajang di ruang tamu. Istilah blawong ini kemungkinan berasal dari kata blabag dhoewoeng (ejaan lama) yang artinya blabag atau papan kayu tempat dhoewoeng atau dalam bahasa Jawa halus atau kromo untuk keris, dua kata ini kemudian menjadi blawoeng dan berubah lagi menjadi blawong karena mudah untuk diucapkan.
SUSUH ANGIN
Hampir semua blawong yang kami pamerkan mempunyai tema wayang, terutama dari kisah cerita Mahabaratha, ada juga dari cerita Panji, semuanya menggambarkan suasana Jejeran atau pertemuan antara tokoh-tokoh yang diidolakan oleh masyarakat waktu itu seperti Arjuna, Kresna, Bima, Gatotkaca serta masih banyak lagi. Ada juga tokoh tunggal yang diidolakan oleh si pemesan blawong seperti tokoh Kresna, Bima dan lain-lain.
Kami memakai judul Susuh Angin untuk pameran blawong ini. Susuh Angin adalah sebuah tempat sakral dalam cerita wayang Dewaruci, yang kiranya sesuai dengan pameran Blawong. Susuh artinya sarang atau rumah, dan Angin kami ibaratkan keris atau senjata. Angin itu bisa menyejukkan dan membuat hati tentram tapi juga bisa ganas dan mematikan seperti angin topan atau lesus, itu semua tergantung pada siapa yang menguasai keris atau mengendalikan angin. Bentuk dan ukuran blawong sangat beragam, kebanyakan bentuknya papan persegi panjang setebal 2 cm, lebarnya mulai dari 30 cm sampai 60 cm, dan tinggi 40 sampai 100 cm. Dengan bentuk kerucut di atas seperti bentuk gunungan dalam wayang kulit.
Seni Pedalaman Jawa (Javanese Rural Art)
Kalau kita lihat dan teliti ternyata blawong-blawong ini bukan merupakan produk kerajinan, tetapi lebih ke arah seni rupa tradisional, dan lebih spesifik lagi seni rupa pedalaman. Seni Blawong ini dahulu berasal dari pedalaman jauh dari kota-kota besar di Jawa. Kalau kita telusuri seni blawong mulai dibuat pada masa akhir masa kejayaan Majapahit dan munculnya kerajaan Islam di Demak, waktu itu daerah daerah pedalaman banyak menghasilkan wayang klitik dan blawong, dugaan kami sezaman. Daerah itu adalah โJipangโ yang meliputi Blora, Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Madiun, dan Ponorogo serta daerah โJapanโ yang meliputi Mojokerto, Malang, dan sekitarnya.
Seni blawong ini merupakan seni rupa tradisional yang tumbuh dan berkembang pada masa kerajaan Jipang sebelum akhirnya dikalahkan oleh Pajang dan Demak. Seni rupa tradisi ini berkembang di daerah pedesaan sekitar hutan-hutan jati yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seni Rupa Blawong ini sangat luar biasa, ekspresi seninya naif cenderung primitif, jangan dibandingkan dengan seni wayang kulit klasik yang rumit dan berwarna-warni.
Bentuk-bentuk wayangnya sangat sederhana dengan pewarnaan dua tiga warna saja, bahkan banyak yang hanya menggunakan kapur putih atau jelaga hitam yang dicampur perekat ancur dari tulang yang direbus sebagai binder atau perekatnya. Seni ini timbul dan berkembang antara tahun 1700 an sampai abad ke 19. Dan hanya di daerah di pedalaman Jawa. Memang di awal tahun 1970-1980an mulai ada yang berusaha me-repro Blawong ini, namun seorang yang ahli tentang seni lawasan ini akan bisa membedakannya dengan yang asli, Dalam perjalanan menyusuri keberadaan blawong ini kami pernah ke tepi Bengawan Solo di daerah Soka Tuban dan desa Ledok Kulon kota Bojonegoro, di sana masih ada seniman yang berusaha membuat blawong baru, dengan mencontoh blawong tua. Mereka sangat piawai membuat blawong dari bahan bekas lemari jati atau jendela yang disulap menjadi blawong baru setelah selesai lalu dituakan dengan PK obat kulit sehingga nampak kuno. Blawong-blawong ini dikirim ke para pemesan ke Solo, Yogya, dan Bali bahkan Jakarta. Itu semua terjadi karena permintaan pasar yang tinggi karena blawong langka. Berhati- hatilah banyak blawong abal-abal alias antik.
Hermanu
Kurator Bentara Budaya