Meta Art: Merayakan Seni Digital
Zaman berubah, kehidupan bergerak, begitu pula seni rupa dan desain. Bentuk, ruang, dan modus berkarya seni terus bergeser. Mulai dari lukisan goa masa pra sejarah hingga karya digital NFT (Non-Fungible Token) masa kini. Inilah metamorfose alias perubahan wujud berkesenian.
Metamorfose itu berlangsung lama. Lebih dari sekadar estetika visual, karya-karya itu juga mengungkapkan proses manusia mencari identitas diri, mengembangkan pola pikir, dan berinteraksi melalui karya seni. Setiap periode mencerminkan pencapaian peradaban.
Pada zaman pra sejarah, manusia purba menggambar pada dinding goa. Hewan buruan, seperti banteng, babi, atau kuda, menjadi obyek favorit. Lukisan merekam kebiasan berburu binatang sekaligus menjadi bagian dari praktik samanisme (perdukunan). Goa, yang awalnya sebagai tempat tinggal, pun menjadi ruang berekspresi.
Memasuki zaman kerajaan, para penguasa "mengabadikan" kekuasaannya dengan membuat prasasti di atas bebatuan atau catatan di atas
lontar atau papirus. Sebagian karya seni dipersembahkan untuk menghiasi kuil atau tempat ibadah, seperti candi. Ada hasrat untuk memonumenkan kejayaan.
Tradisi itu berlanjut hingga abad pertengahan. Dengan patron konglomerat dan raja-raja, para seniman menyulap dinding atau langit-langit
gereja atau masjid sebagai etalase karya seni. Seni dan keyakinan beragama bertaut saling menguntungkan. Seni memperoleh legitimasi dari
agama, tapi saat bersamaan juga terkungkung doktrin keyakinan keagamaaan.
Renaissance di Eropa membuka hegemoni agama atas praktik berkesenian. Para seniman bekerja secara bebas dengan sepenuhnya mengacu
prinsip kemanusiaan (humanisme). Menguat kesadaran, bahwa manusialah--terutama lewat rasionalisme (dengan jargon "Cogito ergo sum" ala Rene Descartes)--yang menentukan perjalanan sejarah.
Modernisasi melahirkan galeri dan museum sebagai ruang pamer yang memuja sejarah dan wacana seni adiluhung. Lukisan di atas kanvas atau patung jadi penanda zaman ini. Di pasar, karya seni ditransaksikan sebagai komoditas bernilai investasi. Balai lelang memompa pergerakan ituhingga melambung tinggi.
Ketika teknologi informasi kian canggih, menguat pula geliat karya seni rupa digital berbasis teknologi komputer dan internet. Terbuka ruang
baru bagi seni rupa, yaitu dunia maya yang dihubungkan melalui media sosial dalam jaringan “(online)”. Terbangun jagat baru yang disebut
metaverse.
"Meta" berasal dari bahasa Yunani, berarti "beyond" atau melampaui. Istilah ini pernah muncul tahun 1960-an, tetapi populer belakangan.
Dalam pergaulan "game", "Meta" dipanjangkan jadi "Most Effective Tactics Available": pemain "game" menggunakan strategi terbaik untuk
menang. Ini lazim dalam permainan "game" e-sports, seperti Mobile Legends atau Street Fighter.
Kata ini semakin populer tahun 2021, saat pendiri sekaligus CEO Facebook Inc, Mark Zuckerberg, mengganti nama perusahaan induk Facebook, WhatsApp, dan Instagram itu menjadi "Meta". Nama itu memenuhi obsesi Zuckerberg untuk mengembangkan metaverse, realitas virtual berbasis teknologi internet untuk bermain game, bekerja, dan berkomunikasi dalam jagat virtual. Diluncurkan pula logo baru mirip simbol "infinity" (ketidakterbatasan).
Merebak istilah "Meta Art" yang mencakup sebagai segala bentuk seni digital terkini berbasis teknologi internet dan berwatak futuristik. Salah satu bentuknya, NFT, kependekan dari Non-Fungible Token (token yang tak dapat dipertukarkan). Token merupakan satu unit digital (crypto) yang diterbitkan dalam sistem penyimpanan data yang disebut blockchain.
NFT ibarat sertifikat digital yang mewakili suatu barang yang unik. Sertifikat ini merupakan duplikasi karya seni atau barang antik yang dapat
diedarkan atau diperjualbelikan secara resmi dengan "cryptocurrency" (mata uang digital). Semua transaksi tercatat dalam sistem yang aman dan pembeli mendapatkan sertifikat. Namun, karya seni aslinya hanya satu dan disimpan pencipta/ senimannya.
Seniman memiliki hak karya cipta intelektual atas gambar terkait NFT. Setiap kali token dijual kembali, seniman memperoleh royalti. "Smart
contracts" (kontrak pintar) memastikan kepemilikan, penjualan, royalti, dan segala hal terkait jual-beli berjalan baik.
Banyak seniman dan desainer menjajal terjun ke dunia NFT. Karya-karya digital mereka tampil dalam panggung virtual, mendapatkan apresiasi, bahkan terbeli oleh kolektor. Sebut saja, mahasiswa di Semarang, Jawa Tengah, Sultan Gustaf Al Ghozali, dengan karya 933 foto selfie "Ghozali Everyday" yang dihargai sampai miliaran rupiah di marketplace NFT populer, platform Opensea.io. Di Amerika Serikat, tweet pertama CEO Twitter Jack Dorse dilelang sebagai NFT pada Maret 2021 dan laku seharga 1.636 Ethereum, senilai 2,9 juta dollar AS (sekitar Rp 40,6 miliar) saat itu.
Cerita NFT tak seluruhnya indah. Ada juga sisi-sisi tak terduga. Mirip saham dan uang kripto, nilai karya seni NFT juga fluktuatif. Namun, NFT
sebagai bagian dari ekosistem "meta art" bakal terus berkembang. Ini merupakan ekstensa baru bagi praktik seni sekarang dan masa depan.
Dalam konteks inilah, diluncurkan "Laboratorium NFT Bentara Budaya Powered by Astra" pada awal tahun 2023. Ini ruang belajar untuk mendalami seluk-beluk NFT, mulai dari Web3, desain digital, token, kontrak pintar, kripto, sampai cara pemasaran karya seni di ruang virtual.
Bekerja sama dengan Astra Internasional dan Kogi NFT Kompas Gramedia, laboratorium menghadirkan para ahli dari kalangan desainer atau
seniman, pakar teknologi, dan praktisi pemasaran digital.
Kelas perdana Lab NFT digelar, Sabtu (28/1/2023) lalu. Kini, Jumat (3/2/2023), laboratorium itu diluncurkan secara resmi. Digelar pula pameran
Meta Art: Merayakan Seni Digital,” 3-7 Februari 2023, yang menampilkan puluhan karya seni digital pada layar, karya cetak, dan foto, yang
berasal dari NFT Harian Kompas, Kogi.NFT, dan beberapa karya seniman dari pameran "Ilustrasiana" Bentara Budaya.
Palmerah, 3 Februari 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management CorpCom Kompas Gramedia