Kesenian wayang dalam beragam bentuk dan ceritanya telah dikenal sejak lama di Indonesia. Salah satu literatur menyebutkan bahwa wayang diyakini telah ada sekitar abad ke-9 dan tersebutkan dalam prasasti pada zaman Prabu Dyah Balitung tahun 829 Saka (709 M). Hingga kini, sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki kesenian wayang berikut keunikan masing-masing yang mencerminkan kekhasan budaya, dinamika dan transformasi masyarakat setempat.
Kesenian wayang senantiasa tumbuh, berkembang selaras konteks ruang dan zamannya. Pada masa Kediri muncul cerita wayang yang diterjemahkan dari bahasa Sansekerta dalam bahasa Jawa kuno, mengemuka dengan kisahan utama yang bersumber dari wiracarita Ramayana dan Mahabaratha, juga cerita Panji. Sementara pada masa Majapahit ada pula Wayang Beber, Wayang Klitik (tangannya dari kayu) dan Wayang Krucil (tangannya dari kulit) yang kemudian banyak tersebar di daerah Blora, Tuban dan Tulungagung di Jawa Timur. Terdapat pula berbagai jenis Wayang Kulit klasik khas Kartasura, Yogya, Solo, Banyumas, Kedu, Madura, Jawa Timuran, termasuk juga Bali; Wayang Golek, Wayang Orang, Wayang Potehi, Wayang Suket, dan lain-lain.
Pada 7 November 2003, UNESCO menetapkan wayang kulit sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Wayang dengan sejarah panjangnya yang terajut sejak ribuan tahun lalu hingga hari ini, bukan semata sebuah artefak budaya, namun patut dihayati sebagai nilai luhur filosofi Nusantara yang mewarnai laku hidup sehari-hari kita. Kedalaman renungan yang terkandung di dalam lakon pewayangan sekaligus dapat menjadi cermin diri bagi kita (manusia).
Masing-masing bentuk dan ragam kesenian wayang tersebut memiliki perannya tersendiri di masyarakat. Selain semata hiburan, wayang juga kerap difungsikan dalam ritual setempat. Ada pula periode di mana wayang berperan sebagai sarana penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Pertunjukan wayang tertentu juga mencerminkan adanya persentuhan dan akulturasi budaya di berbagai daerah di Indonesia.
Di Cirebon dan Indramayu misalnya, terdapat Wayang Golek Cepak atau Pakpak. Wayang ini mirip dengan wayang golek dari budaya Sunda namun memiliki bentuk mahkota kepala yang rata (bahasa Cirebon: cepak). Menurut beberapa sumber, wayang cepak mulai berkembang di Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati (1479-1568) sebagai media dakwah. Kisah-kisah yang diangkat umumnya bersumber dari Serat Mènak, Babad Dermayu dan Babad Cirebon, Legenda, Epos Panji, Kerajaan, dan Kisah-kisah Wali.
Seturut dinamika modern kontemporer, lahir pula beragam pertunjukan wayang yang berakar atau mencoba melakukan eksplorasi lebih jauh terhadap stilistik, estetik seni tradisi dengan bentuk ekspresi kekinian. Sebagaimana misalnya dilakukan dalang dan sutradara Nanang Hape yang aktif berproses mengembangkan seni pewayangan untuk menjangkau kalangan penonton yang lebih luas, terutama generasi muda. Nanang memulainya dengan pertunjukan Wayang Urban. Sebuah pementasan wayang alternatif bagi warga perkotaan yang dimulainya pada tahun 2006.
Tidak jauh berbeda dari apa yang dilakukan Nanang Hape, dalang Made Sidia dari Gianyar, Bali, juga mengembangkan pertunjukan wayang inovatif yang disebut Wayang Listrik, memadukan teknologi modern, semisal projector sebagai pengganti lampu blencong untuk menampilkan siluet wayang, termasuk video mapping. Rangka wayang listrik pun tidak semuanya terbuat dari kulit, melainkan dari kardus, sterofoam, busa tebal dan kaca mika.
Dalam bentuk lain, adalah Ilhamsyah, seorang seniman grafis, yang mengembangkan WayangGram atau Wayang Instagram; perpaduan antara seni lukis wayang, pertunjukan wayang kulit dan naskah cerita. WayangGram adalah bentuk lain dari cerita bergambar (cergam) dengan memanfaatkan medium digital (Instagram).
Tidak terelakkan, di tengah percepatan teknologi dan perubahan, kesenian wayang perlahan mulai tersisihkan. Mungkin tidak banyak lagi pengerajin yang memproduksi wayang karena kebutuhan pentas telah berkurang, terlebih dengan adanya pandemi. Muncul kemudian sejumlah pertanyaan penting; perihal bagaimanakah sesungguhnya arti atau peran kesenian wayang dalam dunia modern kontemporer kita hari ini? Bagaimanakah para seniman dan pelaku kesenian ini menghadapi tantangan untuk terus berkembang seiring zaman? Bagaimana pula peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan publik seni dalam merawat dan melestarikan keberlanjutan kesenian wayang ini?
Webinar yang diselenggarakan Bentara Budaya serangkaian dengan pameran Wayang Rupa Kita pada 18 November - 4 Desember 2021. Kita akan mendengarkan paparan dari para narasumber dalam melakukan inovasi atau pembaruan pada bentuk dan cara mempresentasikan kesenian wayang, sekaligus membincangkan bagaimana upaya merawat, melestarikan, dan terus mengakrabkan kesenian ini kepada khalayak, khususnya generasi muda.