Pembukaan Pameran
Kamis, 21 Oktober 2021
Pukul 19.00 WIB (Di Channel Toutube Bentara Budaya)
Pameran dibuka oleh :
Sutta Dharmasaputra
(Pemimpin Redaksi Harian Kompas)
Jadwal pameran Offline di Bentara Budaya Jakarta:
22,23,24 dan 27 Oktober 2021.
Pengunjung wajib daftar terlebih dahulu.
Njelimet terkadang dijadikan kambing hitam. Njelimet sering dituduh sebagai sumber permasalahan. Karena njelimet, maka orang merasa tidak paham, tidak mengerti. Njelimet diidentikan dengan sesuatu yang rimut, dan ruwet. Padahal, njelimet itu, suatu usaha untuk memberi sesuatu “sampai kepada hal-hal yang kecil-kecil; mengenai hal-hal yang sekecil-kecilnya.” Setidaknya itu disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari penjelasan itu tersirat makna, adanya upaya untuk mengurai sesuatu secara rinci. Menjabarkan sesuatu secara mendetail.
Tapi, kembali lagi pada nasib sang jelimet. Sesuatu karya dianggap jelimet lantaran ada orang yang menganggap karya tersebut susah dipahami, alias tidak mudah dicerna, tidak dapat dinikmati. “Simfoni No 3” Beethoven yang berjuluk Eroica termasuk karya yang dianggap jelimet. Bagian ke 4-nya berdurasi sekitar 12 menit. Sementara orang lain menabalkannya sebagai masterpiece. Komposisi jazz John Coltrane “A Love Supreme” bernasib kurang lebih sama, ada yang mengatakan sebagai njelimet, sedangkan penikmat jazz menilai komposisi sepanjang 33 menit itu sebagai salah satu karya terbaik Coltrane.
Anehnya, yang “njelimet” dari Beethoven itu semuanya tercatat rapi dalam partitur dan mereka yang mampu membaca notasi akan dapat memainkannya. Itu mengapa karya itu hidup dan terus mengalun ratusan tahun . Begitu pula improvisasi saxophone Coltrane bisa ditranskripsikan atau ditulis dalam notasi musik, dan oleh karenanya dapat dipelajari dan dimainkan. Dieter Mack, dosen musik, mengatakan setiap musik mempunyai gramatikanya sendiri. Ketika orang mendengarkan musik yang tidak sesuai dengan gramatika yang selama ini mereka dengarkan, maka mereka akan merasa musik tersebut tidak teratur. Yang tidak teratur itu bisa bersinonim dengan rumit, dan njelimet.
Lalu mengapa ada sepuluh perupa yang memberi judul pameran mereka sebagai Njelimet? Tentu saja para perupa tidak mencari-cari masalah dengan karya drawing mereka. Mereka adalah Rizal Misilu, Noor Udin “Ung”, Anton Rimanang, Rianto Karman, Isa Anshori, Radetyo “Itok” Sindhu Utomo, Aznar Zacky, Arif “Bachoxs” Wicaksono, Rony Sanjaya, Indiria Maharsi.
Mereka masing-masing menyodorkan keNjelimetan dalam eksplorasi kreatif visual mereka. Njelimet dalam pengertian detail yang terukur, tersadari, dan terhayati. Ada garis-garis yang terkesan centang perenang, bersilang-silangan, tapi tersatukan sebagai satu karya utuh. Ada garis-garis yang terkesan ruwet akan tetapi merupakan satu kesatuan ucap. Sebuah manajemen garis-garis yang terorkestrasi dalam satu karya rupa. Atau dalam pembahasaan Rizal Misilu, kenjelimetan atau keruwetan yang mampu diatasi dengan baik, dan dipresentasikan dengan baik ke hadapan publik. Meminjam istilah lama “kebebasan yang bertanggung jawab”, maka ini merupakan kenjelimetan yang bertanggung jawab.
Pameran Njelimet yang digelar dengan kenjelimetan tersendiri bisa dikatakan sebagai langkah lebih maju dalam penyelenggaraan pameran di Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini mengandung harapan agar pada masa mendatang kenjelimetan situasi kehidupan dapat terurai satu- demi satu.
Frans Sartono
Kurator Bentara Budaya